Ternyata Jayapura Tidak Seseram Kukira

 

Akhirnya, dapat tugas luar kota di pulau paling timur Indonesia ini. Maklum masih junior, jadi jam terbang tugas luar kota memang tidak setinggi yang sudah senior. Bosku yang sebelumnya, sebenarnya dulu pingin banget menugaskanku ke Papua, tapi sebelum keinginan itu keturutan, ternyata beliaunya harus cabut dulu. Temen-teman kantor banyak yang cerita tentang Jayapura yang katanya pernah terjadi kerusuhan dekat Bandara, daerah Bandara yang banyak bercak merah karena ludah pinang dan beberapa keseraman yang lain. Ada yang informasi juga tentang Papua sebagai salah satu endemik malaria, jadi kalau sebelum ke sana harus minum pil kina. Awalnya agak takut juga kalau terjangkit malaria, tapi aku putuskan untuk tidak minum pil kina, tapi tetap jaga kondisi badan dengan banyak-banyak konsumsi vitamin C.

Perjalanan Surabaya – Jayapura membutuhkan waktu yang lumayan bikin pegel, sekitar 6-7 jam termasuk transit, biasanya di Makassar. Kebetulan waktu itu pesawat dari Surabaya sekitar jam 22.30 WIB dan sampai di Bandara Sentani sekitar pukul 07.00 WITA. Sampai di Bandara Sentani, memang banyak kutemukan tulisan “Dilarang Meludah Pinang”, tetapi tidak sekumuh yang aku kira. Memang, salah satu kebiasaan orang Papua asli adalah makan pinang, kalau Mbah Mbah Jawa disebut “nginang”, yang memberi efek warna merah pada mulut. Kalau di Jawa biasanya Mbah-Mbah yang makan pinang, di Papua anak kecil pun juga makan pinang.

Screenshot 2015-12-02 07.56.02
Lokasi Jayapura dalam Peta Pulau Papua, tidak jauh dari perbatasan dengan Papua Nugini

Bandara Sentani (kode IATA : DJJ) bukan terletak di Kota Jayapura yang menjadi ibukota dari Provinsi Papua. Bandara Sentani terletak di Kabupaten Jayapura, dengan jarak menuju Kota Jayapura kurang lebih 40 kilometer. Sepanjang perjalanan kita akan dimanjakan dengan pemandangan alam yang menakjubkan. Indahnya Danau Sentani serta pegunungan Papua yang terlihat rimbun menghijau. Tidak jarang di sisi jalan kita akan melihat bukit dan tebing. Dalam imajinasiku “Apa yang ada di dalam tanah di bukit itu ya? Mungkinkah emas?”.

DSC_0459
Pemandangan tepi jalan dari Sentani menuju Jayapura

Sampai di Jayapura, kota kecil di kaki gunung dan berada di Teluk Jayapura, rasanya takjub. Memang tidak seramai kota di Jawa, tapi pemandangannya luar biasa. Kita bisa memandang pegunungan yang hijau. Kita juga bisa menikmati laut yang bening. Kebetulan, klien mengajak tim kami untuk makan di salah satu tempat makan di pinggir pantai. Perfect!

Tempat menginap kami, tepat di pinggir pantai, salah satu hotel yang cukup terkenal. Memang sih harganya sedikit mahal dibandingkan hotel lain. Menikmati sarapan sambil memandang pantai yang bersih. Ternyata di Papua, pantai benar-benar dijaga kebersihannya. Memang di beberapa bagian masih ada sampah botol yang mengapung di pinggir pantai. Tetapi, ada petugas DKP (kalau di Surabaya kepanjangannya Dinas Kebersihan dan Pertamanan, ga tau kalau di Papua) yang membersihkan pantai menggunakan perahu dan menjaring sampah yang ada di pinggir pantai.

DSC_0444
Lokasi Jayapura dalam Peta Pulau Papua, tidak jauh dari perbatasan dengan Papua Nugini

Jadi, jangan heran kalau pantai di Jayapura itu bening, beda dengan pantai di Jawa bagian utara, seperti di Tuban atau Lamongan. Saking beningnya, kita bisa melihat bintang laut dan berbagai jenis ikan di pinggir pantai. Seneng banget bisa liat ikan belang-belang yang biasanya cuma lihat di televisi, waktu itu bisa lihat dengan mata telanjang. Di pinggir pantai aja udah bagus, apalagi kala nyebur. Sayangnya tidak ada fasilitas snorkeling.

DSC_0454
Pantai di Jayapura yang bening, tuh lihat ada bintang laut yang berwarna biru

 

Ngomong-ngomong soal makanan, ini nih kelemahan Jayapura, mahal. Siap-siap saja merogoh kocek lebih kalau makan di kota ini. Seporsi makanan di warung biasa bisa antara Rp 20,000 – Rp 30,000 belum termasuk minumnya. Penjual makanan di Jayapura sebagian besar pendatang dari Makassar dan Jawa. Jadi jangan heran, kalau di sini banyak yang jual Soto Lamongan, Penyetan, Coto Makassar bahkan Sate Madura. Malah jarang nemu yang jual salah satu makanan khas Papua, yaitu Papeda. Ada KFC juga sih, tapi katanya rasanya beda sama KFC di Jawa.

Masih tentang makanan, salah satu oleh-oleh yang bisa dibawa pulang adalah Abon Gulung. Sebenarnya abon gulung ini adalah makanan khas dari Manokwari di Papua Barat. Ada dua toko abon gulung yang terkenal di Jayapura. Yang pertama adalah distributor resmi Abon Gulung Hawai Bakery, yang letaknya di area Ruko Jayapura Pasifik. Tempat ini hanyalah agen, produksinya langsung dari Manokwari yang diantar ke Jayapura setiap hari. Biasanya jam 13.00 siang stok baru dari Manokwari datang. Jika ada sisa abon gulung yang belum terjual sampai malam hari, akan dikirim ke agen yang ada di Bandara Sentani. Abon Gulung Hawai Bakery yang original harganya sekitar Rp 125,000 yang isinya 10 biji. Kalau mau yang campur (ada rasa sosis, keju dll) harganya sekitar RP 135,000. Hawai Bakery ini juga menyediakan abon gulung ukuran kecil yang dinamakan Abon Gulung Unyil. Yang kedua adalah Abon Gulung Manokwari Bakery, letaknya di Jalan Sam Ratulangi Jayapura, tidak jauh dari Mal Jayapura. Kalau Manokwari Bakery ini abon gulungnya ada rasa Abon Sapi, Abon Tuna, Keju dan Cokelat. Bedanya dengan Hawai Bakery, Manokwari Bakery ini langsung memproduksi abon gulungnya di tempat, jadi terkesan lebih fresh. Untuk ukuran biasa, Abon Gulung Manokwari Bakery dibanderol Rp 120,000 dan ukuran kecil Rp 80,000.

Wait? Jayapura ada mall? Yaps, benar sekali. Ada Mal Jayapura yang di dalamnya ada Matahari, JCO bahkan XXI. Tapi, jangan harap menemukan minimarket waralaba di kota ini. Beberapa supermarket atau minimarket lokal tetap ada kok, kalau misalkan butuh barang kebutuhan sehari-hari.

Orang Papua itu ternyata ramah-ramah. Bahkan ada salah satu warga pendatang yang sudah kerasan tinggal di Jayapura. Meskipun banyak suku yang tinggal di Jayapura, tetapi tetap akur. Orang Papua pun mengakui bahwa Papua itu unik. Mereka juga bangga dengan keunikan tersebut. Di Papua terdapat banyak suku dengan bahasa dan dialek yang berbeda-beda di setiap suku. Tetapi perbedaan tersebut tidak menjadi masalah, karena mereka bangga menggunakan bahasa Indonesia, meskipun dengan dialek Papua. Mereka sangat senang dengan olahraga. Jadi jangan heran kalau mereka bangga sekali dengan atlet yang berasal dari Papua, seperti Boas Salossa. Salah satu bukti keramahan orang Papua adalah mereka mengajakku berfoto bersama setelah selesai Focus Group Discussion (FGD).

Papua memang tarada (tidak ada) duanya. Papua memang trakosong

Semoga suatu saat nanti bisa kembali kesana dan bisa lebih mengeksplorasi alam dan budayanya.

Advertisement

7 responses to “Ternyata Jayapura Tidak Seseram Kukira”

  1. Coba sempat explore alamnya..☺☺
    Berapa lama kemarin disana?

    1. Cuman 2 hari Wan, tapi di kota aja.. Ga bisa kemana gitu..

  2. Wew, kalau warung kaki lima aja Rp20.000-an, harga KFC kira-kira ikut naik atau sama seperti harga di Jawa ya?

    1. Kebetulan sih ga mampir ke KFC Mas, karena saya ga makan junkfood. Tapi info dari yang pernah makan di KFC, harganya tidak beda jauh dengan di Jawa. Jadi, akhirnya kebanyakan temen lebih milih makan di KFC dibandingkan di warung kaki lima

      1. hmmm, boleh jadi trik klo pas aku (entah kapan) mampir Jayapura, beli ayamnya KFC terus dimakan sama nasi yg dibeli dr warung 😀

      2. Hahahahaha.. Kalau aku mending makan di warung sih daripada di KFC.. Katanya sih KFCnya juga tidak seenak KFC di Jawa. Meskipun KFC di Jawa aja rasanya juga ga enak2 banget

  3. Salut sama penilaian kamu… krn banyak org diluar sana yg anggap papua itu mengerikan. Tapi sebenarnya tidak seperti itu…

    Mace ko tra kosong… hehehe

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Blog at WordPress.com.

%d bloggers like this: