Tanpa terasa, 4 tahun terakhir ini perjalanan blakrakan-ku ternyata sudah cukup lumayan menjelajah beberapa pulau yang ada di Indonesia. Mulai karena kerjaan, ataupun niatnya memang murni jalan-jalan. Dan ternyata, aku malah belum sama sekali menginjakkan kaki di sebuah tempat yang tidak kalah indahnya di desaku. Aku kadang malah menyebutnya “gunung mburi omah” (gunung di belakang rumah), karena memang dari rumahku sudah kelihatan gunungnya.
Entah efek relativitas atau apa, aku merasa gunung itu semakin lama semakin dekat, semakin lama semakin terlihat besar. Di umurku yang sudah lebih dari seperempat abad ini (sudah mulai lupa umur, mungkin lebih tepatnya ga mau ngaku umur. Hahaha), mungkin gunung itu memberi tanda padaku bahwa aku belum pernah ke sana, mengingatkanku untuk segera ke sana.

Gunung itu bernama Gunung Blego, mungkin lebih tepatnya dia adalah sebuah bukit. Ketinggian Gunung Blego ini kurang lebih hanya 996 meter, masih kurang dari 1.000 meter ternyata. Gunung ini mirip dengan Gunung Lawu dalam hal lokasi. Seperti Gunung Lawu, Gunung Blego ini terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung Blego sendiri secara administratif sebagian berada di Jawa Tengah, di Desa Nguneng, Kec. Puhpelem, Kab. Wonogiri. Sedangkan sebagian di Provinsi Jawa Timur, lebih tepatnya di Desa Sombo, Kec. Poncol dan Desa Ngunut, Desa Trosono dan Desa Sayutan, Kec. Parang.
Sesuai dengan lokasinya, perjalanan menuju Gunung Blego dapat dicapai melalui kelima desa tersebut. Perjalanan pembuka tahun 2018-ku kemarin menuju Gunung Blego aku pilih dengan menikmati Gunung Blego melalui desaku sendiri, Desa Sayutan. Dari rumahku yang berada pusat Desa Sayutan (cieee pusat), perjalanan dimulai dengan kendaraan menuju Dukuh Dukuh. (iya, nama dukuhannya juga Dukuh). Dari ujung Dukuh Dukuh, perjalanan dilanjutkan tentu saja dengan berjalan kaki.
Karena gunung kecil ini adalah gunung yang sudah non aktif, jadi sepanjang perjalanan kita akan melewati kawasan tegalan milik penduduk. Berbagai macam jenis tanaman yang ada di sana, mulai dari jagung, cabe, dan pohon duren juga ada. Namun, tidak sedikit beberapa lahan yang dibiarkan terbengkalai alias bero, mungkin karena pemiliknya yang sudah males naik gunung. Selain pemandangan tegalan/kebun, kita bisa melihat daerah Ponorogo dan Jawa Tengah yang berada di selatan Gunung Blego. Bahkan sepertinya terlihat barisan pegunungan daerah Pacitan.

Sebagian rute menuju Gunung Blego via Dukuh, Sayutan ini ada yang mudah, dan ada juga yang agak terjal. Beberapa kali aku dan rombongan istirahat untuk sekedar menarik napas. Perjalanan kami pun ditemani dengan beberapa penduduk desa yang akan ke puncak dan kawah/telaga Gunung Blego untuk melihat tanamannya. Salah satunya beliau ini, namanya Mbah Parpin, beliau lahir di tahun 1928, dan sampai saat ini masih kuat ke kebunnya yang berada di Gunung Blego. Neser yang ngakunya traveler mah lewat sama mbah ini yang nafasnya masih kuat banget. Kamu kudu banyak-banyak gerak, Nes. Ini juga yang bikin tambah semangat buat naik ke atas puncak Blego.


Selama kurang lebih 1 jam, akhirnya sampai juga di pinggir Telogo Wurung. Sebuah cekungan yang berada di Gunung Blego, mirip kawah. Cekungan ini konon dulu katanya mau jadi telaga, namun ga jadi, makanya namanya Telogo Wurung. Nah berbeda dengan kawah/telaga di gunung yang tinggi, Telogo Wurung ini dimanfaatkan penduduk untuk bercocok tanam. Dari atas, kelihatan banget garis-garis tanahnya rapi. Bahkan secara agraria, lahan di Telogo Wurung ini katanya sudah ada kepemilikannya dan bayar PBB juga. Just FYI, PBB di sini masih murah banget,untuk tanah banyak kurang dari nilai secangkir kopi di cafe.


Nah, perjuangan tidak selesai berhenti sampai di dekat Telogo Wurung saja. Gunung Blego, punya puncak kecil yang bernama Pertapan. Pertapan diartikan sebagai tempat untuk bertapa. Bahkan katanya ketika zaman penjajahan, daerah Pertapan ini dijadikan sebagai tempat persembunyian. Pertapan ini secara letak berarti di daerah Desa Sombo. Jadi perjalananku pas tahun baru itu sebenarnya melewati 4 desa, Sayutan, Trosono, Ngunut dan Sombo.
Perjalanan ke Pertapan cukup lumayan menantang, rutenya naik terus. Jalur ini sudah lebih mudah dibandingkan beberapa waktu sebelumnya, karena pihak Desa Trosono sudah membantu membuatkan jalur yang lebih mudah pagi pengujung. Terima kasih banyak. Dan kerennya di belakangku ada mbah-mbah lagi yang asalnya Desa Trosono yang pingin naik ke Pertapan. Sampai di Pertapan, kita akan disuguhkan dengan pemandangan daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang aduhai. Di Selatan ada kawasan Ponorogo, di Barat ada daerah Wonogiri, di Utara terlihat Gunung Lawu yang gagah beserta kawasan Sarangan, dan di Timur terlihat juga kawasan lain Kecamatan Parang dan kawasan Ponorogo. Kenapa coba keindahan yang dekat kaya gini aku sampai telat banget lihatnya. Neser memang keterlaluan, ga peka.

Sebenarnya perjalanan menuju Gunung Blego ga susah-susah amat, pihak Desa Trosono sudah membuatkan jalan yang cukup mulus menuju Telogo Wurung, jalan makadam yang rapi dan bisa dilewati sepeda motor bahkan mobil. Meskipun demikian, kendaraan harus dipastikan prima karena jalurnya masih banyak yang berupa tanjakan curam.
Kamu kok naik sepeda motor aja sih Nes? Kan cepet, ga capek. Ah, buat aku emang ini niatnya jalan-jalan, bener-bener menikmati keindahan terdekat dari rumah ini sambil bersyukur bahwa aku dilahirkan di sini. Di perjalanan balik menuju rumah, aku dan rombongan pun memilih berjalan kaki sebentar turun sebelum dijemput, sekalian menikmati keindahan pemandangannya, kalau naik sepeda motor atau mobil kan ga bisa sering-sering berhenti.

Ngomong-ngomong, ini salah satu teman traveling-ku pas menuju Gunung Blego. IBUK!
Karena Neser masih pingin naik lagi ke Gunung Blego, kalau Neser bikin #BlegoTrip ada yang mau ikut ga ya? Tapi rutenya yang lewat Dukuh, Sayutan dan trekking, bukan naik motor lewat Trosono. Bagus sekalian ngejar sunrise. Nginepnya di rumahku aja. Hahahaha. Yang berminat banget ke Gunung Blego via Sayutan, hubungi Neser ya.
Leave a Reply