Mungkin sudah agak terlambat nulis review film “Stip dan Pensil” ini, film ini sudah tayang perdana di bioskop hampir sebulan lalu, tepatnya tanggal 19 April 2017. Ketika tulisan ini diketik, film “Stip dan Pensil” ini masih nangkring di beberapa bioskop, dengan jumlah penonton sekitar 540.854 penonton dan masuk di urutan ke-8 film Indonesia terlaris tahun ini. (Sumber : filmindonesia.or.id)
Jadi, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali buat me-review film yang cukup inspiring ini. Film ini dibintangi oleh Ernest Prakasa (Toni), Tatjana Saphira (Bubu), Ardit Erwandha (Aghi) dan Indah Permatasari (Saras). Keempat orang ini berperan menjadi siswa di sebuah SMA swasta di Jakarta. Keempat siswa ini membentuk sebuah geng yang menurut teman-teman mereka adalah geng yang sok eksklusif dan membanggakan kekayaan orang tuanya.
Guru baru mereka yang diperankan oleh Pandji Pragiwaksono, meminta mereka untuk membuat esai tentang social awareness yang akan dilombakan di lomba esai tingkat nasional. Tanpa disengaja mereka bertemu dengan anak jalanan yang bernama Ucok. Dari Ucok yang tidak bersekolah ini, mereka pun mendapatkan ide topik esai tentang pentingnya sekolah untuk anak jalanan. Dan esai mereka pun menjadi salah satu dari dua esai yang mewakili sekolah untuk lomba esai tingkat nasional.
Karena geng mereka mendapat image sebagai geng yang sok eksklusif dan dianggap menggunakan jasa orang lain untuk membuat esai tersebut, mereka pun ingin membuktikan wacana mereka dengan membangun sekolah untuk anak jalanan. Dengan bantuan anak buah orang tuanya, Toni pun berhasil membangun sebuah sekolah sederhana di kawasan pemulung. Sekolah itu namanya TOGIBURAS, singkatan dari nama mereka Toni – Aghi – Bubu – Saras.
Perjuangan mereka selesai? Belum. Mau tahu ceritanya, mumpung masih tayang di beberapa bioskop, buruan deh. Atau ga gitu nunggu DVD atau video streaming-nya muncul di beberapa aplikasi streaming.
Berawal dari sekedar pembuktian diri, Togiburas pun akhirnya mengetahui tentang kehidupan di kampung mulai. Mulai dari anak-anak mereka yang tidak sekolah karena menjadi pengamen dan penjual asongan sampai kebiasaan pemulung, rumah kumuh di kawasan ilegal dengan perilaku yang kadang sama kumuhnya sampai naluri “memulung” ketika melihat barang tergeletak.
Anak-anak pemulung tidak mau bersekolah karena mereka akan kehilangan waktu untuk mendapatkan uang. Orang tua mereka pun lebih suka menyuruh mereka mengamen atau berjualan, daripada bersekolah. Meskipun dengan mengamen dan berjualan asongan mereka menanggung resiko untuk ditanggap oleh petugas sosial.
Pemikiran anak-anak pemulung mereka tentang kurang pentingnya sekolah pun berubah setelah peristiwa kejar-kejaran dengan satpol PP. Beberapa jalan ditutup dengan petunjuk berupa tulisan. Untung salah satu pemulung sudah aktif menjadi siswa Togiburas dan bisa membaca, jadi mereka menemukan jalan untuk terhindar dari kejaran satpol PP.
Kenapa film ini inspiring? Abis nonton film ini jadi kepikiran untuk project-project sosial selanjutnya. Tentu saja harapannya adalah project sosial yang bermanfaat. Bukan hanya untuk sekedar mewujudkan wacana atau pamer eksistensi. Tanpa kita sadari, masih banyak sekitar kita yang mungkin masih membutuhkan uluran tangan atau bantuan kita dalam berbagai hal.
Kalau ngomong tokoh favorit, di film ini suka banget sama tokoh Saras yang diperankan oleh Indah Permatasari. Karakter Saras di sini cantik-cantik galak dan keras, mirip sama akulah. Terutama galaknya ya, bukan cantiknya. Akting Tatjana di sini juga lucu banget, memerankan Bubu yang digambarkan sebagai cewek cantik yang agak lola dan polos. Ernest pun masih cocok memerankan anak SMA, ga keliatan banget kalau sudah berumur 35 tahunan dan punya 2 anak. Aghi yang bisa dibilang paling “pinter” di geng ini pun diperankan cakeeeppp banget oleh Ardhit.
Leave a Reply