Melihat Sisi Lain Perkebunan Sawit Indonesia melalui “Asimetris”

Apa itu “Asimetris”? “Asimetris” ini adalah judul sebuah film dokumenter yang dibuat oleh WatchDoc, sebuah rumah produksi yang didirikan oleh Dandhy Laksono. Watchdoc sudah membuat banyak film dokumenter. Beberapa contohnya adalah “Samin vs Semen” dan “Belakang Hotel”, dua film dokumenter Watchdoc yang pertama kali saya tonton beberapa tahun lalu. Seperti layaknya film dokumenter, film garapan Watchdoc banyak mengambil sisi lain yang tidak kita dapatkan dari media mainstream tentang keberhasilan industri dan pembangunan yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap beberapa kelompok masyarakat kecil. Kalau “Samin vs Semen” tentang cerita kaum Samin di pegunungan Kendeng dan salah satu perusahaan semen terbesar di Indonesia, “Belakang Hotel” bercerita tentang masyarakat Jogja dan pengaruh pembangunan Jogja sebagai kota tujuan pariwisata.

Beberapa waktu yang lalu teman saya mengirimkan gambar promosi acara “Layar Tancap : Asimetris” yang diadakan di C2O Library, kerjasama dengan Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI) Surabaya dan Kontras. Saya cek Youtube Watchdoc dan memang yang keluar baru trailer film Asimetris. Sepertinya film ini layak ditonton, selain saya sendiri sudah lama ingin main ke C2O Library yang sebenarnya hanya 5 menit dari kantor saya. Kamis, 15 Maret malam saya pun segera meluncur ke C2O dan ikut nonton bareng film Asimetris tersebut, gratis.

Oh iya ini poster dan trailer-nya.

Dengan masih terbatasnya pengetahuan saya, di sini saya tidak akan banyak berpendapat tentang pro kontra industri ataupun pembangunan. Jadi cerita sekilas tentang filmnya aja ya. Tenang, film dokumenter dari Watchdoc biasanya akan mudah ditonton di Youtube beberapa bulan setelah launching, gratis tanpa bayar.

Asimetris menceritakan tentang kondisi lain tentang industri sawit di Indonesia. Dimulai dari penggunaan sawit dalam berbagai jenis industri, mulai dari minyak goreng, sabun bahkan sampai campuran untuk bahan bakar. Sebagai primadona ekspor Indonesia, kebutuhan sawit yang terus bertambah setiap tahunnya harus diimbangi dengan peningkatan area lahan sawit.

Di Indonesia sendiri, area perkebunan sawit berada di pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Setiap tahun akan ada area hutan yang diubah menjadi area perkebunan. Perubahan area hutan menjadi area perkebunan tersebut salah satunya dengan cara pembakaran hutan, yang turut berkontribusi dalam peristiwa kabut asap di hutan Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.

Siapa yang memiliki perkebunan sawit yang amat luas tersebut? Rakyat? Hanya sebagian kecil perkebunan yang dimiliki oleh rakyat. Perkebunan sawit di Indonesia sebagian besar dikuasai oleh 25 pengusaha besar di Indonesia, dan separuh di antaranya masuk ke dalam jajaran orang-orang terkaya di Indonesia. Bisa tebak siapa saja mereka bukan?

Rakyat biasa yang memiliki lahan sawit pun tidak semuanya beruntung. Perawatan sawit yang cukup ribet, malah membuat pemilik lahan ukuran kecil tidak banyak mendapat untung, bahkan merugi. Bagaimana nasib rakyat lain sekitar perkebunan sawit yang tidak punya lahan? Tentu menjadi buruh di perkebunan sawit, dengan penghasilan yang tidak seberapa. Terutama para wanita, mereka akan berangkat di pagi buta dan kembali di sore hari untuk melakukan pekerjaan seperti memberi pupuk. Mereka diberi target kebun setiap harinya yang cukup luas, dan akan dipotong upahnya kalau tidak selesai sesuai target mereka. Berapa upah mereka per hari? Kurang dari Rp 50.000. Wahai generasi milenial ngehe yang masih aja ngeluh masalah gaji kecil. Bersyukurlah.

Selesai nonton, saya sempat ngobrolin film ini dengan teman via chat, dan dia malah mengirimi saya sebuah e-book
tentang taipan sawit di Indonesia. E-book-nya bisa di-download di Google Drive saya di sini. Itu kenapa saya tidak banyak memunculkan angka di sini, biar pada nonton langsung nanti kalau udah keluar di Youtube ataupun bisa baca e-book
ini. Lagipula tulisan saya ini niatnya bukan dalam bentuk esai atau artikel berat tentang perkebunan sawit, hanya sekilas review tentang film Asimetris itu sendiri.

Nah, kalau gitu apakah kita perlu boikot perkebunan sawit nih? Ga usah pakai minyak goreng, ga usah pakai sabun, ga usah pakai biosolar. Bukan-bukan, bukan seperti itu tujuannya. Ya kali kita semua malah gampang kepancing boikot-boikotan gitu. Setelah melihat sisi lain komoditas yang menjanjikan ini harapannya kita bisa sadar bahwa untuk bisa mendapatkan berbagai hal yang kita nikmati saat ini ada harga yang harus dibayar oleh banyak orang. Gunakan segala hal seperlunya, jangan berlebihan.

Fenomena-fenomena ironi seperti ini sebenarnya banyak di sekitar kita. Tidak hanya tentang industri semen, tidak hanya tentang pembangunan hotel, tidak hanya tentang industri sawit. Tapi, kadar kepekaan orang dengan fenomena ini memang tidak sama. Bagaimana cara meningkatkan kadar kepekaan kita terhadap fenomena sosial seperti ini? Salah satunya banyak-banyak nonton film dokumenter seperti di Watchdoc ini. Banyak baca referensi buku/artikel sosial dan juga banyak bergaul dan berdiskusi dengan mereka yang sudah punya kepekaan lebih tentang fenomena ironi ini. Kalau sudah tahu terus ngapain? Bukanlah memang harus ada aware dulu baru act, tahu masalah sampai akarnya dulu, baru nanti bisa tahu detailnya kita bisa bantu apa.

Perkebunan sawit sebenarnya suatu hal yang sering saya dengar ceritanya, meskipun yang banyak diceritakan adalah keberhasilannya. Beberapa saudara Bapak mempunyai sedikit lahan sawit di Sumatera sana. Menonton film ini membuat saya pingin main ke rumah mereka dan melihat sendiri kondisi perkebunan sawit yang sebenarnya. Kudu nyiapin jadwal cuti yang agak panjang nih.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s