Rara (Jessica Mila), seorang staf bagian riset di sebuah produk kosmetik lokal. Karena penampilannya, Rara pun menjadi korban body shaming di kantornya. Bahkan Mamanya (Karina Suwandi) sempat menyebutnya paus terdampar.
Berbeda dengan Rara, Lulu adik Rara (Yasmin Napper), adalah seorang selebgram yang cantik, putih dan tentu saja langsung. Kedua saudara ini memang berbeda 180 derajat. Rara punya fisik seperti mendiang ayahnya, yang sangat dekat dengan Rara. Semasa hidup, ayah Rara selalu membiarkan Rara makan yang diinginkannya. Sedangkan Lulu, memang mirip dengan mamanya, yang semasa muda pernah menjadi model.
Meskipun sering di-bully, Rara juga punya support system yang selalu membantunya. Yang pertama adalah Fey (Shareefa Daanish), sahabatnya di kantor yang tomboy dan juga bodo amat dengan penampilan. Fey berkeyakinan bahwa otak itu jauh lebih penting dibandingkan penampilan. Support system yang penting lainnya adalah Dika (Reza Rahadian), pacar Rara, fotografer lepas yang terkesan sempurna juga. Dika sayang Rara, perhatian dan menerima Rara apa adanya.

Rara pun awalnya bodo amat dengan penampilannya. Ada sih keinginan untuk kurus dengan diet, tapi kadang nasi goreng atau bubur ayam masih menggoda. Apalagi kalau sudah masuk 30’s gini, keinginan olahraga dikalahkan oleh mager rebahan di kasur. Bukan begitu wahai #sobatrebahan sekaliaaannnnnnnnn.
Namun, Rara dihadapkan pilihan baru dalam karirnya. Rara berkesempatan promosi dari staf riset menjadi marketing manager, yang membutuhkan penampilan yang berbeda karena secara tidak langsung menjadi representasi perusahaan ketika bertemu dengan klien, vendor ataupun media. Bagaimana selanjutnya penampilan Rara? Lanjut tonton sendiri lah, mumpung masih fresh baru tayang pertama 19 Desember kemarin.
By the way, saya cukup senang profesi saya yang saya cintai sebagai researcher ditampilkan di sini. Adegan ketika Rara menceritakan temuan tentang segmen pelanggan kosmetiknya hasil dari FGD, membuat saya kangen menjadi sebenar-benernya researcher. Ah udah baper jadinya.
Tekanan Menjadi Serba Sempurna di Media Sosial
Film yang disutradarai oleh Ernest Prakasa ini merupakan adaptasi dari buku karangan istrinya, Meira Anastasia yang berjudul sama yaitu Imperfect. Buku Imperfect ini sebenarnya merupakan buku non fiksi yang berisi cerita Meira dalam menghadapi dunia yang menuntut perempuan selalu sempurna, dalam fisiknya.
Filmnya sendiri adalah cerita fiksi yang menurut saya lebih kaya nilai dibandingkan bukunya. Jika di buku kita akan lebih banyak membaca tentang self acceptance terhadap ketidaksempurnaan diri, di film ini saya banyak mendapatkan pelajaran tentang relationship, baik dengan pasangan maupun dengan keluarga, terutama saudara kandung.
Di film ini kita akan banyak dikenalkan dengan perempuan-perempuan yang tidak memenuhi standar kriteria sempurna versi netijen negara +62. Apalagi di era media sosial seperti sekarang ini, kita seakan dituntut menjadi sempurna, apalagi jika menjadi public figure. Gendut dikit dikomen, jerawatan dikit dikomen dsb. Kita, terutama perempuan menjadi insecure dengan diri sendiri hanya karena penampilan fisik yang tidak memenuhi standar netijen.
Bagi sebagian orang, termasuk saya, media sosial kadang adalah sumber racun karena membuat kita membanding-bandingkan diri dengan penampilan maupun pencapaian orang lain. Ngaku saja, tidak sedikit kan dari kalian yang stalking mantannya pacar atau pacarnya mantan dan membandingkannya dengan kalian? Saya ngaku, saya pernah. Itu juga salah satu yang membuat saya akhirnya meninggalkan Instagram dan Facebook.
Baca Juga : Ucapkan Selamat Tinggal pada Facebook : “Neser Ike Cahyaningrum” dan Instagram @neserike
Untuk terlihat sempurna di media sosial, kadang kita harus melakukan hal yang tidak kita sukai. Bahkan banyak juga yang malah memalsukan kebahagiaan, memalsukan cerita, hanya demi untuk konten dan followers media sosial. Padalah, followers tidak akan banyak membantu kita ketika kita mengalami masalah dan tidak tahu tentang perjalanan hidup kita sebenarnya seperti apa.
Meskipun demikian, masih ada kok yang masih bisa menggunakan media sosial dengan bijak. Dan saya kagum kepada kalian yang masih bisa bermedia sosial terutama Instagram dan Facebook tanpa merasa diracuni.
Sama seperti bukunya, film ini mengajari ketika untuk mengurangi insecure dengan banyak bersyukur. Dan selayaknya, sesama perempuan mendukung perempuan lainnya, bukan malah saling bully dan saling menjatuhkan.
Berpasangan Tidak Selalu Menunggu Sempurna
Apa yang kurang dari Dika, yang secara fisik sudah sempurna, punya pekerjaan, sayang Ibu dan Rara serta menerima Rara apa adanya dengan semua ketidaksempurnaannya? Dika kadang emosian, tidak sabaran, tapi Rara selalu ada untuk memeluk dan menenangkannya.
Perubahan Rara cukup membuat Dika sempat galau. Apalagi secara karir dan finansial, Rara cukup lebih dibandingkan Dika. Kita tahu intinya setiap orang bisa saja berubah. Ada fase di mana dalam hidup seseorang mencari jati dirinya, seperti yang dirasakan oleh Rara. Tapi sebuah nasihat dari Ibu Dika (Dewi Irawan) cukup mengena sih terutama buat saya. Saya tidak ingat kutipan lengkapnya, tapi intinya :
Jika dia sedang berubah karena mencari jati dirinya, jangan ditinggalkan, tapi dampingi dia. Tapi hasilnya bukan menjadi urusanmu, itu urusan dia.
Ibunya Dika
Pada tahapan antiklimaks film, kita akan dibuat baper dengan sebuah ucapan dari Dika di balik selembar foto Rara yang diberikan kepada Rara. Mungkin kalimatnya seperti ini
Kalau menjadi sempurna bikin kamu bahagia, beri aku waktu. Karena aku terlanjur mencintai ketidaksempurnaanmu.
Dika
Jadi kamu mau aku kirimin selembar fotomu dengan kutipan di baliknya, Mas? Eeeeaaaa
Saudara Kandung Bukanlah Saingan atau Musuh
Saya juga seperti Rara dan Lulu, dua bersaudara sama-samam perempuan. Tidak jarang saya membanding-bandingkan diri saya dengan adik saya, dalam hal metode pengasuhan, karir dan yang paling sering dalam hal hubungan percintaan. Kadang saya merasa, dia lebih beruntung dalam banyak hal dibandingkan saya. Tapi, saya lupa tahapan dan kondisi hidup yang dialaminya sudah berbeda jauh dengan saya.
Saya juga sering merasa dibedakan oleh kedua orang tua saya, karena adik saya menurut jadi PNS dibandingkan saya yang masih ingin bebas jadi karyawan swasta. Sama seperti Mama Rara dan Lulu, ternyata kedua orang tua saya juga berusaha keras untuk bersikap adil kepada kedua anaknya, semua demi kebaikan anaknya.
Saudara kandung bukanlah saingan atau musuh, tapi saudara kandung adalah partner kita untuk bersama membahagiakan orang tua. Mungkin saya bukan seorang kakak yang dekat seperti sahabat dengan adik saya. Tapi, saya berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan adik saya. Karena di masa tua nanti, mungkin hanya saya dan adik saya yang orang tua saya punya untuk menjaga mereka. Kalau kami sampai bertengkar, patahlah hati kedua orang tua saya sepatah-patahnya.
Dan inilah dia, saudara kembar saya yang beda 6 tahun 11 hari dengan saya!

Terima kasih Koh Ernest dan Teh Meira, filmnya lagi-lagi menyentuh dan related banget dengan kehidupan saya.
Leave a Reply