Aku bukan tipe orang yang bisa mengungkapkan perasaan secara langsung. Termasuk pada Bapak. Aku masih lebih nyaman mengungkapkannya dengan tulisan.
Tahun lalu, aku sempat ikut giveaway menulis, salah satu temanya tentang masa kecil. Di tulisan itu aku menceritakan sepenggal kisah masa kecil tentang Bapak.
Ini sedikit ceritanya
Bapak bukan sosok seorang ayah yang dekat dengan anak perempuannya, terutama aku. Setidaknya itu yang aku rasakan selama 12 tahun tinggal bersamanya, sebelum akhirnya aku meninggalkan rumah untuk merantau sampai sekarang.
Hari-hari Bapak dipenuhi dengan rutinitas pagi mengajar, siang berkutat dengan banyak hal mulai dari tambal ban, pergi ke kebun sampai membuat bahan ajar kreatif, malamnya beliau masih menghitung tagihan listrik PLN yang dikumpulkan warga padanya.
Sewaktu aku masuk ke kelas 6 SD, Bapak punya rutinitas tambahan : mengantarkanku les ke sebuah bimbingan belajar terpercaya ke kota yang berjarak hampir 30 km dari tempat tinggal kami. Rutinitas itu dijalaninya 2 kali dalam seminggu. Mengantarku les dengan sepeda motor terbaiknya, menungguku 2 jam sampai aku selesai les dan kembali pulang bersama pemandangan senja di jalan pulang. Sesekali kami mampir di sebuah toko buku kecil, membeli majalah anak-anak favoritku masa itu. Nama majalahnya “MENTARI”.
Mendekati masa ujian, lesku semakin padat. Setiap hari mulai Senin – Jumat, Bapak mengantar dan menungguiku les. Beberapa kali kami sempat mampir di warung bakmi bernama “NAYAMUL”, mengisi perut kami sebelum melanjutkan perjalanan menembus malam yang mulai dingin.
Perjuangan beliau ternyata tidak sia-sia. Siang itu, aku asyik mengobrol dengan tetangga-tetanggaku, menikmati masa liburan setelah ujian selesai. Bapak pulang, turun dari motornya, menghampiriku, tiba-tiba memeluk dan mencium pipiku sambil berkata “Selamat yo Nduk, nilai ujianmu tertinggi sekabupaten”.
Selamat jalan, Bapak.
Leave a Reply