Akhirnya saat itu datang juga. Setelah pandemi Covid-19 terjadi hampir 1,5 tahun di Indonesia, akhirnya virus tersebut sampai juga ke keluarga saya. Di bulan Juli 2021, Ibu saya pelan-pelan tumbang. Dimulai dengan gejala lemas dan demam yang tak kunjung sembuh, hasil rapid antigen Ibu saya menunjukkan hasil positif. Mungkin sekitar 10 rumah sakit di Ponorogo – Madiun – Magetan yang menolak untuk merawat Ibu saya, karena IGD pun penuh, benar-benar penuh. Bahkan, saudara kami yang ikut mengantar mencari RS pun melihat secara langsung orang yang meninggal dunia di IGD.
Rasanya sebuah keajaiban ketika akhirnya bisa dirawat di rumah sakit daerah di Magetan. Memang tidak langsung dapat kamar, tapi setidaknya sudah mendapat penanganan. Tapi ternyata, semua belum berakhir. Sekitar hari ketiga atau keempat, Ibu saya kritis. Keluarga besar saya sudah mulai menenangkan saya dan adik saya “Eyen dan Aning, yang tabah ya”. Saya seperti de javu dengan suasana ketika Bapak berpulang di April 2020 lalu (Bukan karena Covid-19 sih, tapi memang beliau kena gagal ginjal). Pikiran saya sudah sempat kemana-mana, saya berkali-kali bilang kepada diri sendiri di dalam hati “Nes, siap-siap ya kalau misalkan setelah ini hidupmu berubah. Kuat, Nes!”.
Pikiran dan hati saya campur aduk. Melihat media sosial membuat saya semakin stress. Ibu saya kritis karena Covid-19, tetapi masih banyak teman saya yang dengan santainya berkumpul tanpa masker. Dan masih banyak juga yang posting merasa ikut sedih untuk mereka yang kena Covid-19, tapi masih bisa jalan-jalan dan berkumpul, untuk aktivitas yang kurang esensial. Sejenis ingin misuh-misuh.
Keajaiban kembali datang, Ibu saya melewati masa kritisnya. Lebih dari 20 hari Ibu saya harus dirawat di rumah sakit. Mungkin salah satunya karena Ibu saya pernah punya riwayat penyakit jantung. Di rumah sakit tempat Ibu saya dirawat, memang ada ketentuan diperbolehkan ditunggu oleh keluarga, tetapi penunggu harus pakai masker tidak boleh keluar masuk, sejenis ikut dikarantina juga. Penunggu juga dites antigen setelah keluar rumah sakit dan menjalani isolasi mandiri selama 14 hari. Ketentuan ini diberikan karena mempertimbangkan kondisi psikis pasien. Pasien lebih bersemangat ketika ada yang menunggu dan melayani, termasuk melayani ketika makan dan buang air.
Saya sempat menunggu Ibu saya selama 10 hari. Sepuluh hari yang membuat saya sempat tertekan. Hampir setiap hari saya melihat orang yang meninggal dunia karena penyakit ini. Ada yang baru kemarin masuk RS, besoknya sudah terbujur kaku terbungkus selimut. Ada yang malam masih bisa makan dengan duduk, besok paginya sudah tertutup selimut seluruh tubuhnya. Saat itu kondisi Ibu saya masih lemas, belum bisa duduk, saturasi masih di bawah 90. Ditambah kadangkala alarm pertanda oksigen sentral RS mulai menipis. Sebenarnya masih akan cukup untuk setengah sampai hari ke depan, tapi tetap saja membuat saya deg-degan, tidak bisa tidur, beberapa kali terbangun karena Ibu saya bangun terbatuk-batuk, sekalian untuk melihat status oksigen. Di suatu tengah malam, saya sempat menangis.
Saya pun akhirnya tertular dan positif Covid-19, dengan gejala awal demam dan batuk, mirip dengan gejala ketika saya mau flu. Saya pun segera diisolasi mandiri di rumah. Hari pertama dan kedua, saya masih bisa beraktivitas normal, bahkan masih bisa mencuci di mesin cuci dan menjemur pakaian, Namun, di hari ketiga saya mulai merasa anosmia, demam dan batuk. Demam yang berkisar antara 38 – 39 derajat Celcius, yang rasanya membuat badan lemas dan kepala pusing. Batuk kering membuat saya tidak bisa tidur nyenyak dan tidak bisa banyak bergerak. Ketika saya kena air (yang kebetulan sedang dingin-dinginnya) dan bergerak, saya akan terbatuk-batuk cukup lama, sampai terasa ke perut. Saya sempat bersuci dengan tayamum dan sholat dengan kondisi duduk. Karena jika saya wudlu pakai air dan sholat berdiri, saya akan terbatuk mulai dari sholat mulai sampai selesai.
Mulai minggu kedua, keadaan saya berangsur membaik, cuma masih terasa lemas. Makanan sudah mulai ada rasanya, yang sebelumnya hanya terasa hambar, asin banget atau pedes banget. Hari ke-15 saya sudah selesai isolasi mandiri. Meskipun saya kadang masih merasa gampang capek. Saya mulai kembali beraktivitas, pelan-pelan bekerja. Di awal-awal saya bekerja dari kasur, kalau misalkan capek bisa langsung istirahat. Saya juga sempat pusing berat setelah dari pagi sampai siang mengantar Ibu saya untuk rontgen ke klinik untuk persiapan kontrol. Dan alhamdulillah, sekarang, setelah 3 bulan, saya bisa beraktivitas normal.
Pemulihan Ibu saya cukup lama, karena gejalanya tergolong berat. Pulang dari rumah sakit, Ibu saya masih dibantu oleh oksigen. Masih sering lemas dan terkadang sesak. Kami pun menyiapkan beberapa tabung oksigen untuk berjaga-jaga. 2-3 kali kontrol ke dokter spesialis paru, Ibu saya sudah mulai membaik. Tapi memang masih butuh waktu untuk normal. Setiap hari Ibu saya berjemur di depan rumah, dan mulai berlatih jalan pelan-pelan. Dan sekarang, Ibu saya sudah terlihat sesegar sebelum beliau sakit. Alhamdulillah, akhirnya kami berhasil melewati huru hara pandemi ini.
Saya beruntung karena keluarga saya ada yang tenaga kesehatan (nakes) sehingga saya langsung dibekali termogun, oxymeter, tensimeter, obat dan multivitamin selama isolasi mandiri. Dan saya lebih bersyukur lagi karena saya dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman yang baik yang memberikan banyak makanan maupun dukungan.

Terima Kasih Banyak, Matur Suwun
- Bu’Min (Adik kandung Ibuk), yang sudah membantu merawat Ibuk tanpa mengeluh, ikhlas dan tak kenal lelah. Kalau saya sempat positif Covid-19, Bu’Min ini kuat sekali, sama sekali tidak tertular.
- Mas Ji dan Mbak Reni, yang sudah ikut pontang-panting cari RS buat Ibuk dan menyiapkan semua kebutuhan alat dan obat untuk isolasi mandiri-ku
- Mbah Yun, yang bersedia jadi kurir antar jemput barang dari Sayutan ke Magetan dan sebaliknya
- Bu Mamik, teman Ibuk yang sudah bantu menyiapkan kebutuhan makan saya, Ibuk dan Bu’Min selama di rumah sakit, jadi gak perlu antar makanan dari Sayutan yang segitu jauhnya
- Bu’Dati, seksi konsumsi yang bantu menyiapkan makanan untuk keluarga lain selama Ibuk dirawat
- Aning dan Endy, yang pokoknya mau direpotin banget dan selalu nanya “Mau dibawain apa?”
- Mbok Dok kesayangan, yang masakannya sederhana dan juaraaaaa, yang rasanya paling enak padahal yang lain rasanya terasa hambar selama isolasi mandiri
- Wulan, Lik Ani dan Pak Jud yang setiap hari selalu kirim degan dan air kelapa
- Pak Sin, yang sudah jemput di bandara
- Semua keluarga Sayutan, yang tidak bisa disebutkan satu per satu saking banyaknya.
- Dee, my housemate di Mataram yang sudah menguatkan ketika Ibuk kritis
- Kak Andy, buat rekomendasi tempat PCR di Mataram
- Mak Jule yang detail nanyain progress
- Bebeb Alvi, yang saling mendukung karena pas kebetulan keluarganya ada yang positif
- Mbak Fira, buat madunya ya
- Mbak Visi dan Husna, sebagai sesama penyintas yang berkenan membagi cerita selama isolasi
- Teman-teman Pandemic Talks, yang sudah pengertian selama drama huru hara Juli Agustus ini
- Mas mas yang memberi hiburan dengan kirim foto gak penting yang ada tulisan namaku di belakang pick up. Wkwkwkwk. Aku menghargai usahamu, Mas!
- Semua teman-teman yang perhatian secukupnya gak berlebihan dengan Neser yang gampang mumet kalau diperhatikan berlebih : Mbak Tiwi, Biya, Ainy, dan banyak lagi.
- Dan semua pihak lain yang mungkin terlalu panjang kalau disebutkan satu persatu.
Leave a Reply