Apa jadinya jika Indonesia tidak dijajah Belanda? Pertanyaan itu sempat terlintas di benak saya. Lebih tepatnya ketika saya sedang berada di Papua. Tidak berniat under estimate, selain faktor sumber daya manusia, sepertinya ada faktor lain yang membuat Papua dan Indonesia Timur pada umumnya sedikit berbeda dengan Indonesia bagian barat. Awalnya saya menduga faktor perbedaan penjajah, menjadi salah satu hal yang membedakan pembangunan Jawa khususnya dengan Papua. Tapi ternyata saya tidak sepenuhnya benar, penjajah di Jawa maupun di Papua sama-sama dari Belanda.
Kembali ke topik penjajahan, ketika sekolah saya sering mendapat pelajaran bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun, dan dijajah Jepang 3,5 tahun. Ternyata tidak sepenuhnya benar. Orang Belanda datang pertama kali ke Hindia Belanda pada akhir tahun 1500-an di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Tujuan mereka adalah berdagang, bukan untuk penjajahan atau menguasai Hindia Belanda pada waktu itu.
Sepertinya melihat kekayaan alam Hindia Belanda, Belanda mulai tertarik. Di awal tahun 1600-an, VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) mulai datang ke Hindia Belanda dan berniat memonopoli perdagangan. VOC merupakan kongsi atau perusahaan dagang Belanda, bukan merupakan perwakilan dari Kerajaan Belanda. VOC ini juga yang lebih dikenal pribumi dengan sebutan “kompeni”.
Di akhir tahun 1700-an, VOC bangkrut karena banyak pegawainya yang korupsi. Mungkin bakat korupsi Indonesia juga diturunkan dari VOC ini ya. Setelah VOC bangkrut, ternyata pemerintah Hindia Belanda tidak rela melepaskan Indonesia, dimulailah pendudukan Pemerintah Kerajaan Belanda di Hindia Belanda di bawah Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Pada saat itu, belum ada nama Indonesia. Wilayah yang diduduki oleh Pemerintah Hindia Belanda juga tidak seluas wilayah Indonesia sekarang ini. Wilayah Indonesia secara de facto dan de jure baru berlaku setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.
Sewaktu pendudukan VOC maupun Pemerintah Hindia Belanda, sebagian wilayah Indonesia masih berbentuk kerajaan. Sebut saja kerajaan besar seperti Mataram (yang sekarang menjadi Yogyakarta), kerajaan Gowa Tallo dan banyak kerajaan lain. Awalnya perang terhadap monopoli VOC dan Hindia Belanda pun masih sporadis antar daerah.
Di balik monopoli perdagangan dan perang yang ditimbulkan oleh VOC maupun Hindia Belanda, banyak peninggalan Belanda yang sampai sekarang bisa dinikmati oleh penduduk Indonesia. Kita memang tidak perlu berterima kasih kepada Belanda karena menjajah kita, tapi setidaknya “Everything happens for a reason”, termasuk pendudukan VOC dan Hindia Belanda di Indonesia. Ceeeileeehhhh
- Jalan Raya Daendels
Dalam cerita sejarah di sekolah, kita seringkali mendengar tentan kerja rodi untuk pembangunan jalan raya sepanjang 1.000 km di yang menghubungkan Pulau Jawa dari Anyer sampai Panarukan. Jalur ini dikenal dengan nama Jalan Raya Daendels atau Jalan Raya Pos. Sesuai dengan nama yang pertama, jalan ini dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Hindia Belanda, Herman Willem Daendels. Kenapa Jalan Raya Pos? Salah satu tujuan pembangunan jalan ini adalah memperlancar komunikasi antar daerah yang dikuasai Daendels di sepanjang Pulau Jawa. Di sepanjang jalan ini, setiap 4,5 km didirikan pos sebagai tempat perhentian dan penghubung pengiriman surat. Jalur ini juga menjadi benteng bagi Hindia Belanda.

Jalur ini berada di bagian utara Pulau Jawa, yang sekarang mungkin lebih dikenal dengan Jalur Pantura. Bagaimana dengan bagian selatan Pulau Jawa? Meskipun tidak sepopuler pembangunan jalan di jalur utara, di bagian selatan Jawa juga dibangun jalan raya. Jalan ini memang juga dikenal dengan Jalan Raya Daendels Selatan, namun beberapa informasi menyebutkan bahwa jalur ini sebenarnya sudah lama dibangun sebelum pembangunan Daendels. Jalur Selatan itu terbentang di bagian selatan Provinsi Jawa Tengah, sepanjang kurang lebih 130 km, dari Cilacap sampai Bantul, Yogyakarta. Tidak seperti Jalur Pantura yang cukup ramai kendaraan, Jalur Selatan ini cukup menguji nyali karena sepi, gelap dan sering terjadi pembegalan.

- Jalur Kereta Api
Untuk mempermudah transportasi hasil perkebunan tanam paksa antar wilayah terutama di Jawa dan Sumatera, Pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta api. Pembangunan rel pertama di Hindia Belanda, menghubungkan Tanggung dengan Semarang.
Pembangunan jalur kereta api tentu saja diikuti dengan pembangunan beberapa stasiun. Mulai stasiun besar sampai yang kecil. Tidak heran jika di beberapa stasiun kita masih melihat model bangunan bergaya kolonial. Beberapa peninggalan sejarah terkait perkeretaapian di Indonesia bisa dilihat di Museum Lawang Sewu ataupun Museum Kereta Api di Ambarawa. (Yang Ambarawa belum keturutan kesana nih).
- Pembangunan Bendungan atau Dam
Negeri Belanda juga dikenal sebagai negeri dengan pembangunan dam atau bendungan. Konsep ini pula yang dijalankan Pemerintah Hindia Belanda di Hindia Belanda atau Indonesia. Untuk mengairi sawah-sawah milik Pemerintah Hindia Belanda, dibangunlah bendungan-bendungan. Pembangunan bendungan memang dilakukan oleh pribumi dengan keringat dan darah, namun hasilnya juga bisa dinikmati oleh penduduk Indonesia sampai sekarang.
Bendungan Jagir di Surabaya juga merupakan salah satu peninggalan Belanda. Gaya bangunan kolonial pun terlihat dalam bangunan Bendungan Jagir tersebut. Satu lagi bendungan yang terkenal dan berperan sebagai pelindung Jakarta, Bendungan Katulampa. Bendungan ini menjadi benteng bagi Jakarta agar tidak mengalami banjir besar kiriman dari daerah Bogor.

- Perkebunan dan Pabrik
Ketika berkunjung ke pabrik gula maupun beberapa kantor PTPN di Indonesia, kita akan merasakan aura bangunan kolonial. Yaps, Belanda juga membangun beberapa pabrik untuk mengolah hasil perkebunan mereka.
- Perkembangan Pendidikan
Meskipun menjajah, ternyata Belanda juga membangun berbagai sarana pendidikan di Indonesia. Memang, tidak semua kalangan penduduk yang bisa menikmati tersebut. Tujuan Belanda mendirikan sekolah untuk pribumi antara lain agar mereka bisa menghasilkan pegawai administrasi yng terampil, terdidik dan juga murah. Perkembangan pendidikan pada masa kolonial Belanda dimulai dari pendidikan setingkat SD sampai dengan universitas.
- Europeesche Lagere School (ELS), merupakan pendidikan setara Sekolah Dasar menggunakan bahasa pengantar Bahasa Belanda. ELS diperuntukan bagi keturunan Eropa, keturunan timur asing atau keturunan pribumi dari tokoh yang terkemuka
- Untuk pribumi, pendidikan setara Sekolah Dasar disediakan melalui Twede Klasse School . Ada juga Sekolah Desa (Volksschool) yang dilanjutkan dengan Sekolah Sambungan (Vervogschool) dan kemudian Sekolah Peralihan (Schakelschool) yang menggunakan bahasa Belanda jika ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah
- Pendidikan setara SMP disediakan melalui MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) untuk pribumi maupun keturunan timur asing
- Pendidikan MULO dilanjutkan ke AMS (Algemeene Middelbare School) setara SMU. Di AMS ini juga dilakukan penjurusan. AMS ini juga diperuntukkan untuk pribumi dan keturunan timur asing. Bagi golongan keturunan Eropa, bangsawan dan tokoh terkemuka, pendidikan disediakan melalui HBS (Hoogere Burger School). Beberapa pendidikan lain yang lebih menjurus antara lain OSVIA untuk Pendidikan Pegawai Pribumi, STOVIA (Sekolah untuk Mendidik Dokter Pribumi yang menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), NIAS (Sekolah Dokter Pribumi di Surabaya yang sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga).
- Pendidikan tinggi mulai disediakan pada dasawarsa kedua di tahun 1900-an. Yang paling terkenal sampai sekarang adalah Institut Teknologi Bandung (ITB) yang dulu dikenal dengan nama Technische Hooge School (THS). ITB ini juga yang menjadi tempat sekolah Presiden pertama kita, Ir. Soekarno.
- Tidak sedikit juga pribumi yang beruntung bisa bersekolah di Negeri Belanda. Pribumi yang bersekolah di Belanda antara lain ada Moh. Hatta (Economische Hogeschool yang sekarang menjadi Universitas Erasmus Rotterdam). Mahasiswa Indonesia di Belanda pada masa itu bergabung dalam Perhimpunan Indonesia, yang ikut turut serta dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Sekali lagi, mungkin kita tidak perlu sampai berterim kasih kepada Belanda karena menjajah kita. Yakin saja bahwa “Everything happens for a reason”. Tugas kita saat ini adalah melanjutkan perjuangan mengisi kemerdekaan. Dengan berkontribusi sesuai passion untuk kemajuan bangsa ini. Tidak hanya urun angan, tetapi ikut turun tangan. Tidak hanya berani mengkritisi tetapi juga berani memberi jalan keluar. Tidak hanya sekedar mencaci, tetapi ikut berkontribusi.
Leave a Reply