N : Kayaknya enak ya kerjaan mereka. Bisa sering liburan ke luar negeri, makannya di tempat mahal terus
M : Ah, tapi memang kerjaan mereka susah, sering lembur. Wajar sih kalau mereka dapatnya lebih. Memang kamu, kerjanya santai kaya gitu.
N : Eh iya sih ya, sawang sinawang sih ya. Semua ada kurang lebihnya sih.
Tidak jarang ketika ngobrol dengan teman atau orang terdekat, terlontar kata “sawang sinawang”. Apa sih sebenarnya “sawang sinawang” itu?.
Secara bahasa, “sawang sinawang” berasar dari kata dasar “sawang”. Dalam bahasa Jawa, kata “sawang” berarti melihat. Sama seperti kata “tolong menolong” yang artinya saling menolong. Kata “sawang sinawang” artinya saling melihat. Kalau dari konteks pembicaraan di atas, “sawang sinawang” ini bisa diartikan “Kita sering melihat orang lain dengan kelebihan mereka yang tidak bisa kita miliki. Orang lain pun melihat kita lebih dari mereka, dari hal yang tidak bisa mereka miliki atau lakukan”. Hal ini juga berlaku ketika dalam hal saling melihat kejelekan/kekurangan satu sama lain.
Sebagai contoh, tidak jarang di media sosial, banyak yang share artikel tentang ibu rumah tangga vs ibu bekerja. Yang ibu rumah tangga berpendapat bahwa itulah pekerjaan paling mulia karena bisa selalu bisa berada di dekat anak-anaknya. Di sisi lain, ibu bekerja pun merasa bangga karena bisa mengekspresikan diri dengan pekerjaannya. Kalau sudah ekstrim tidak jarang saling menghujat. Tanpa kita sadari, di balik kebanggaan dua jenis ibu tersebut, semua pasti punya kekhawatiran sendiri. Misal ibu rumah tangga, kadang pasti merasa bosan di rumah terus, atau merasa capek dengan pekerjaan rumah yang menggunung, mulai dari masak, cuci setrika sampai mandiin suami. Eh salah mandiin anak dink. Di pihak lain, ibu bekerja merasa kurang waktunya dengan anak. Tapi ya gimana lagi, kadang serang ibu harus bekerja karena tuntutan ekonomi.
Sebagai pekerja masih single yang cukup sering ke luar kota entah karena urusan pekerjaan atau urusan jalan-jalan, tidak jarang temanku yang sudah menikah bilang “Kok tiap minggu jalan-jalan terus. Kok sering ke luar kota. Aku kok pingin. Kapan ya”. Padahal kadang ada saat di mana aku sendiri capek dengan load kerjaan ke luar kota yang cukup padat. Di sisi lain malah aku sempat berpikir “Aku juga pingin lho nikah dan punya anak lucu kaya kalian”. Saling melihat bukan?
Jadi sebenarnya seberapa penting sih “sawang sinawang” itu?
Pertama, dengan “sawang sinawang” kita lebih bisa bersyukur atas semua yang kita miliki. Tidak semua orang memiliki sesuatu yang kita punya. Selalu ada pengorbanan yang sebanding dengan sesuatu yang kita dapatkan.
Kedua, dengan “sawang sinawang” kita lebih bisa menghargai pendapat atau pilihan orang lain. Semua pilihan memang ada pertimbangan dan konsekuensinya.
Ketiga, “sawang sinawang” memang boleh, tapi jangan sampai membuat kita iri berlebihan dengan orang lain. Ingat, iri itu adalah salah satu penyakit hati.
Keempat, dengan melihat orang yang lebih baik dari kita, kita akan terpacu untuk berusaha lebih baik, tentu saja dengan berusaha, bukan hanya melihat saja.
Selamat “sawang sinawang”
Ditulis di kereta Malabar (Malang – Madiun)
Pertama kali naik kereta ke Madiun dari jalur selatan
Leave a Reply