Sekolah Apa Ini, Kok Namanya SALAM?

Pertama kali saya tahu SALAM dari unggahan teman saya di WhatsApp Story. Unggahan tersebut berupa sebuah tautan artikel di VICE Indonesia. SALAM bukan singkatan dari Sekolah Alam, tetapi Sanggar Anak Alam. SALAM ini berlokasi di Yogyakarta, tepatnya di daerah Nitiprayan, Bantul.

Saya terhitung sering berkunjung ke Yogyakarta, tetapi sampai saat ini pun saya belum sempat main ke SALAM. Sekolah ini membuat saya penasaran. Sampai akhirnya di bulan Juli lalu sewaktu saya main sebentar ke Yogyakarta, saya bisa ikut bedah buku “Sekolah Apa Ini?” yang membahas SALAM di Warung Mojok.

Buku “Sekolah Apa Ini?” pertama kali saya lihat di linimasa Twitter saya. Sinopsisnya menjelaskan bahwa buku ini bercerita tentang praktik belajar mengajar di SALAM. Saya pun tertarik dan segera mengikuti pre order di salah satu toko buku daring langganan saya. Lha kok ndilalah, setelahnya ada lagi poster yang berkeliaran di linimasa bahwa akan dilaksanakan bedah buku “Sekolah Apa Ini?” pas saya liburan di Jogja.

Sambil menunggu acara, peserta bedah buku diberi beberapa lembar kertas fotokopian yang ternyata merupakan fotokopian dari bagian epilog buku “Sekolah Apa Ini?”. Epilog ini ditulis oleh Roem Topatimasang, pendiri INSIST, yang juga menerbitkan buku ini. Buku “Sekolah Apa Ini?” sendiri disusun oleh para pegiat di SALAM, Gernatatiti dan Karunianingtyas Rejeki beserta pendiri SALAM, Ibu Sri Wahyaningsih yang lebih akrab dipanggil Bu Wahya.

Buku “Sekolah Apa Ini?”

Saya baru membaca 1-2 bab buku “Sekolah Apa Ini?” ketika datang ke bedah buku tersebut. Ketika diberi lembaran fotokopian berisi epilog tersebut, saya langsung tertarik dengan siswa kelas 11 SALAM yang risetnya mengambil tema tentang sampah dan pengelolaannya. Awalnya siswa ini tertarik dengan kerajinan daur ulang sampah. Tapi di presentasi hasil akhir penelitiannya, siswa ini mengambil kesimpulan bahwa dari 3R dalam pengelolaan sampah (reduce – reuse – recycle), pengelolaan yang paling tepat dan efektif adalah mengurangi jumlah sampah yang akan kita keluarkan alias reduce.

Sekolah Tanpa Seragam, Tanpa Aturan dan Tanpa Mata Pelajaran

SALAM tidak mewajibkan siswa maupun fasilitator menggunakan seragam tertentu. Mereka bisa menggunakan kaos, celana jeans ataupun menggunakan sandal. Yang penting rapi dan sopan.

SALAM tidak mempunyai peraturan ketat seperti sekolah pada umumnya. Bagi SALAM, aturan hanya bersifat satu arah dan disusun oleh satu pihak saja. SALAM lebih mengenal istilah “kesepakatan”, yang dibuat bersama oleh fasilitator, orang tua dan siswa. Kesepakatan ini biasanya disusun bersama di awal tahun pelajaran. Setiap jenjang pendidikan di SALAM tentu mempunyai kesepakatan berbeda-beda. Ketidaksepakatan yang sudah tidak bisa ditoleransi bisa menyebabkan kembalinya siswa ke orang tua.

SALAM juga tidak mengenal mata pelajaran dan guru. Yang ada di SALAM adalah fasilitator, yang memfasilitasi para siswa untuk belajar. Bagi SALAM, penyeragaman mata pelajaran hanyalah menyamakan isi kepala siswa. Padahal yang jauh lebih penting adakah penyeragaman isi hati.

Di sekolah pada umumnya, guru menjadi sumber informasi utama, yang menyampaikan informasi menggunakan alat bantu berupa media belajar. Hal ini tidak berlaku di SALAM, fasilitator mendukung proses belajar secara mandiri dan terhubung dengan kehidupan sehari-hari siswa. SALAM menerapkan pendidikan berbasis riset dan kehidupan sehari-hari. Dari berbagai kejadian di sekitar mereka, siswa akan belajar berhitung dan yang pasti belajar kritis dan menyelesaikan masalah. SALAM, bukan sekadar sekolah di alam sekitar seperti sekolah alam lainnya.

Pendidikan, Bukan Hanya Sekadar Menghasilkan Angka

Di sekolah pada umumnya, evaluasi hasil pembelajaran akan ditampilkan dalam bentuk nilai atau angka yang bersifat kuantitatif, atau setidaknya dengan target-target tertentu. Di SALAM, evaluasi dilakukan dengan diskusi bersama antara orang tua, fasilitator dan siswa kelebihan dan kekurangan pembelajaran.

Karena bentuknya adalah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), siswa SALAM tetap harus mengikuti ujian negara diakui. Alih-alih melakukan les atau tambahan pelajaran menjelang ujian seperti sekolah umum, siswa SALAM diberi tugas untuk melakukan riset terhadap soal-soal ujian nasional tahun-tahun sebelumnya. Dari riset tersebut mereka bisa memahami tipe-tipe soal, mengritisi soal dan kalau sempat mengerjakannya. Mereka pun dibebaskan mencari informasi dari internet untuk menjawab soal-soal tersebut.

Bagi SALAM, pendidikan bukan hanya sekadar nilai dalam bentuk angka. Pendidikan di SALAM disusun oleh 4 pilar utama : Pangan, Kesehatan, Lingkungan Hidup dan Budaya. Tidak hanya sekadar pilar yang dipajang dan dihafal, pilar-pilar ini benar-benar diterapkan dalam pembelajaran sehari-hari di SALAM. Mulai dari gerakan makan pangan lokal tanpa MSG sampai gerakan zero waste.

Belajar di SALAM, bukan hanya sekadar meningkatkan kemampuan otak. Belajar adalah olah raga, olah hati, olah rasa dan olah karsa. Belajar di SALAM tidak hanya di sekolah, tapi bisa dilakukan dengan berbagai kegiatan lain termasuk live in di lingkungan yang berbeda, saling berkunjung dengan keluarga dan bazar bersama dalam bentuk Pasar Senin Legi.

Terdengar menarik bukan? Saking banyaknya yang tertarik mengajak anaknya belajar di SALAM, SALAM yang mempunyai kuota terbatas pun sampai menolak anak yang mendaftar. Bukannya sombong, tapi jumlah siswa harus disesuaikan dengan jumlah fasilitator yang bisa mendampinginya belajar. Kalau 15 orang siswa tentu tidak bisa hanya didampingi oleh satu fasilitator bukan? Beberapa orang tua malah sudah mulai indent untuk menyekolahkan anaknya di SALAM.

Satu lagi yang menurut saya menarik di SALAM. Jika di akhir-akhir ini kita disibukkan dengan istilah literasi yang dihubungkan erat dengan tingkat minat baca, SALAM punya definisi literasi yang berbeda.

“Literasi tidak sekadar membaca dan menulis. Esensi literasi tidak sekadar olah pikir, namun secara terstruktur menemukan pengetahuan yang berasal dari peristiwa nyata (membaca dan mengolah realita) sehingga ketika mengolahnya ke dalam tulisan, akan melahirkan tulisan deskriptif yang asli/genuine

SALAM sungguh menginspirasi, jika nanti saya punya anak, semoga bisa menikmati pembelajaran ala SALAM. Jika bukan di SALAM, mungkin di sekolah-sekolah lain yang bisa mengajak anak bersifat kritis dan menyelesaikan masalah. Aamiin

9 responses to “Sekolah Apa Ini, Kok Namanya SALAM?”

  1. Sekolah bagus ini. Adik saya sekolah di sana. 🙂 100% bakat tersalurkan

    1. Mbak aku sungguh bahagia tulisan ini dibaca Mbak. Kapan kapan mungkin bisa share donk gimana menariknya sekolah di sana

      1. Hehehe.. saya juga berharap sekali bisa menuliskan tentang bagaimana serunya sekolah di sana, tapi kalau tidak mengalami atau mengamati langsung, nanti citranya ga dapet dong Mba 😂 Kalau tidak salah ada buku lain yang ditulis anak SALAM, judulnya Sekolah Biasa Saja.

  2. Terima kasih… Semoga tulisannya bermanfaat🙌

  3. […] membaca buku “Sekolah Apa Ini” yang juga pernah saya ulas sekilas dalam blog ini, membuat saya semakin penasaran dan tertarik dengan konsep sekolah alternatif yang diusung […]

  4. Wow,,,,,saya senang membaca tulisan ini,sangat mempengaruhi perasaan saya,utk tau lebih jelas sekolah ini

    1. Terima kasih sudah membaca. Saya belum pernah ke SALAM juga. Tapi membaca buku ini membuat saya ingin main ke SALAM

  5. […] Baca Juga : Sekolah Apa Ini, Kok Namanya SALAM? […]

Leave a reply to Rahma Frida Cancel reply

Blog at WordPress.com.