Judul dan trailer film ini terkesan seperti film religi cinta-cintaan. Tapi ternyata setelah menonton, film ini tidak hanya berkisar pada dua hal tersebut. Film ini dibuka dengan adegan Talia (Acha Septriasa) membawakan acara gosip berjudul “Bibir Talia”. Mirip dengan beberapa acara televisi sekarang yang mengedepankan sensasi dan kontroversi demi rating dan share, begitu juga acara yang dibawakan oleh Talia tersebut.

Di kantornya tiba-tiba Talia didatangi oleh seseorang yang mengaku ustaz yang dikirim ibu Talia untuk mengajari Talia mengaji. Ternyata setelah dicek ke ibu Talia (Ira Wibowo), laki-laki tersebut adalah Kiblat (Deva Mahendra), teman kecil Talia yang juga merupakan anak dari sahabat orang tua Talia, Kyai Umar (Dony Damara).
Ketika Talia datang ke pesantren tempat Gus Kiblat dan Kyai Umar, Gus Kiblat malah semangat bertemu dengan Ning Husna (Chiki Fawzi), anak kyai teman Kyai Umar yang berprofesi menjadi desainer. Siapa yang lebih dipilih Gus Kiblat? Tonton aja sendiri yaaa
Suasana Pesantren ala “The Santri” versi Saya
Nonton film ini mengingatkan saya terhadap film “The Santri” yang trailer-nya sempat kontroversial dan rencananya akan tayang di Oktober kemarin. Sampai hari ini belum tayang sih. Hehehehehehe
Film ini mengambil lokasi pesantren di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, daerah yang memang aktualnya banyak terdapat banyak pesantren, termasuk yang terkenal adalah Pesantren Lirboyo.
Metode pengajaran di pesantren milik Kyai Umar ini juga menarik dan beragam, termasuk pembelajaran outdoor, tetapi tidak mengurangi nilai-nilai pesantren itu sendiri. Meskipun demikian, metode lawas tetap digunakan, yaitu belajar menggunakan kitab kuning. Melihat kitab kuning, saya serasa bernostalgia kembali pada masa saya pernah nyantri di sebuah pondok pesantren. Belajarnya bukan sistem kilat dan hanya berdasarkan Al Quran dan hadist, tetapi juga berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari. Pelan, tetapi masuk sampai pikiran.
Pesantren dalam film ini berlokasi di pedesaan, yang dikelilingi oleh perkebunan cokelat. Layaknya pesantren pada umumnya, perkebunan cokelat ini menjadi sumber pendapatan utama bagi pesantren untuk mengelola pesantren. Hasil cokelat perkebunan ini diolah menjadi bubuk cokelat dan olahan cokelat lain agar lebih bernilai jual. Ini memperlihatkan representasi pesantren, yang tidak hanya berkembang dari segi pendidikan, tetapi juga pada kesejahteraan santri dan masyarakat sekitar.
Apalagi ada adegan terjadinya bencana alam di sekitaran pesantren, yang digambarkan semua saling bahu membahu. Ya seperti inilah pesantren yang ada di benak saya. Adegan bencana tersebut juga membuat saya bergetar, karena mengingatkan saya waktu pernah berkunjung ke pengungsian korban gempa.
Kalau bilang “The Santri”, nuansa pesantren yang seperti ini yang saya bayangkan. Entah kalau “The Santri” yang onooo, yang belum kelar. Hehehehehe.
Dunia Media dan Segala Intrik di Dalamnya
Acha berperan sebagai Talia, seorang yang bertalenta di dunia pertelevisian. Peran Acha ini mengingatkan saya akan perannya di film “Hanum dan Rangga”. Acha sama-sama berperan menjadi jurnalis televisi yang cerdas dan ambisius.
Film memperlihatkan sengitnya persaingan di acara televisi, yang berdasarkan share dan rating. Rating turun bahkan jeblok, acara bisa dihentikan. Seorang produser dan tim kreatif harus benar-benar berpikir keras untuk minimal menjaga rating dari setiap program yang dipegangnya. Bahkan tidak jarang, sesama produser atau tim kreatif bisa saling mencuri ide, demi kenaikan karir.
Ini cuman bisnis, nggak usah pakai perasaan
Talia, 99 Nama Cinta
Kutipan di atas merupakan kutipan yang berlaku di dunia media. Orang-orang tidak mempertimbangkan perasaan orang lain ketika membuat berita atau gosip, yang penting rating, rating dan rating. Kalimat Talia kepada timnya ini juga yang akhirnya berbalik sendiri kepada Talia.
Acha dan Adinda yang Jempolan, Chiki Kurang Greget
Akting Acha memang tidak pernah mengecewakan dan selalu totalitas. Di sini Acha pas banget jadi jurnalis televisi. Aktingnya terkesan natural banget. Outfit yang digunakan Acha memang selalu terkesan keren dan tidak berlebihan. Bahkan setelah datang ke pesantren untuk pertama kalinya, sosok Talia digambarkan mulai berpakaian sedikit tertutup, dengan menggunakan kaos panjang atau cardigan. Bukan langsung tiba-tiba berhijab.
Karakter yang saya sukai lainnya adalah Mlenuk (Adinda Thomas), tim kreatif di bawah Thalia yang loyal dan sayang banget dengan Talia. Mlenuk terkesan polos tapi menyenangkan. Mlenuk digambarkan punya ide-ide kreatif dan tidak jarang membuat tertawa. Adinda Thomas menjadi scene stealer buat saya di film ini.
Satu yang kurang, peran Chiki Fawzi sebagai Ning Husna di film ini terasa kurang greget. Hanya sekadar tempelan buat menjadi “orang ketiga” di antara Talia dan Gus Kiblat. Ning Husna yang juga anak kyai di daerah setempat, seharusnya bisa digambarkan lebih njawani, dan bisa lebih membumi meskipun digambarkan sudah sering keliling dunia. Di salah satu adegan, Ning Husna menyanyikan lagu Ilir-ilir, tapi liriknya kurang pas dan terkesan kurang natural.
99 Nama Cinta Maksudnya Apa?
Sebenarnya sekilas kita sudah bisa menebak bahwa 99 Nama Cinta ini adalah Asmaul Husna. Bahasan Asmaul Husna memang ditampilkan beberapa kali di sini. Termasuk memori Talia tentang wasiat ayahnya untuk membaca Asmaul Husna jika mendapatkan masalah pelik. Namun, rasanya penyampaian atau penyimpulan Asmaul Husna dengan kehidupan Talia dan Kiblat terasa kurang runut dan membingungkan.
Mungkin judul yang lain lebih cocok. Tapi apalah arti judul, judul tulisan saya ini kadang juga ga nyambung. Hehehehe
Leave a Reply