Kekerasan Seksual, Relasi Kuasa dan Perempuan

Belakangan ini kita dibuat miris dengan berbagai pemberitaan tentang kekerasan seksual. Mulai dari bullying dan pelecehan yang terjadi pada pegawai kontrak salah satu lembaga publik, kasus perkosaan seorang bapak terhadap 3 anak kandungnya di Luwu Timur, sampai yang terakhir kasus seorang Kapolsek yang mencabuli anak seorang tersangka. Belum lagi berbagai kasus lainnya yang diberitakan di media massa. Miris dan ngilu rasanya ketika membaca berita-berita tersebut.

Naskah akademik untuk Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) pada awalnya mengkategorikan kekerasan seksual dalam 9 (sembilan) jenis sebagai berikut :

  1. Pelecehan seksual
  2. Eksploitasi seksual
  3. Pemaksaan kontrasepsi
  4. Pemaksaan aborsi
  5. Perkosaan
  6. Pemaksaan perkawinan
  7. Pemaksaan pelacuran
  8. Perbudakan seksual
  9. Penyiksaan seksual

Informasi terakhir, berdasarkan hasil rapat pleno penyusunan RUU P-KS pada tanggal 30 Agustus 2021, Badan Legislasi DPR RI melakukan beberapa perubahan. Perubahan pertama adalah perubahan judul dengan mengganti kata “Penghapusan” dengan kata “Tindak Pidana”. Sehingga judul untuk RUU terbaru ini adalah “RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual”.

Perubahan kedua, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual hanya memuat 4 (empat) jenis kekerasan seksual, yaitu :

  1. Pelecehan seksual (fisik dan non fisik)
  2. Pemaksaan kontrasepsi
  3. Pemaksaan hubungan seksual
  4. Eksploitasi seksual

Setelah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sempat tidak terbahas di tahun 2020 lalu, adanya progress pembahasan merupakan seuah perkembangan yang berarti. Tetapi, adanya pengurangan jenis kategori kekerasan seksual, ditakutkan malah mengurangi manfaat dari adanya RUU ini.

Seberapa penting sih kekerasan seksual sampai harus dibuat peraturannya dalam bentuk undang-undang? Mari kita coba lihat berdasarkan data-data yang ada ya. International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) pernah mengadakan studi tentang respon dan sikap masyarakat terhadap RUU P-KS. Hasilnya pun ternyata memberikan informasi-informasi yang menarik.

Laporan Studi Kuantitatif – Barometer Kesetaraan Gender – INFID

5 dari 7 Orang Pernah Mengalami Kekerasan Seksual

Sebanyak 71.8% dari total 2.210 responden survei yang dilakukan oleh INFID ini, pernah mengalami kekerasan seksual. Pengalaman kekerasan seksual ini terjadi pada diri mereka sendiri, keluarga atau orang lain yang dikenalnya, seperti teman, tetangga, kolega kantor dan sebagainya. Namun, sebagian besar responden tersebut (sekitar 64,8% dari responden yang mengalami kekerasan seksual), pernah mengalami kekerasan seksual pada dirinya sendiri.

Survei yang dilakukan INFID ini menggunakan dasar kategori kekerasan seksual seperti di naskah akademik awal RUU P-KS, sebanyak 9 (sembilan) jenis. Hasil survei ini menyebutkan bahwa, kekerasan seksual yang paling banyak dialami adalah pelecehan seksual. Mungkin banyak juga dari kita yang mengalami pelecehan seksual tersebut. Misalkan, digoda sewaktu berjalan, ataupun dipegang atau tiba-tiba dielus orang tidak dikenal di angkutan umum. Tidak sedikit juga yang dilecehkan bahkan orang yang dikenal, seperti guyonan jorok yang berlebihan di tempat kerja.

Kekerasan seksual selanjutnya berhubungan dengan pemaksaan kehendak, baik dalam perkawinan, aborsi, penggunaan kontrasepsi maupun dalam hubungan seksual. Hasil survei juga memperlihatkan bahwa, satu orang bisa saja mengalami lebih dari 1 jenis kekerasan seksual selama hidupnya.

Relasi Kuasa : Merasa Berkuasa Jadi Bisa Seenaknya Memaksa?

Hasil survei menunjukkan hampir semua responden yang punya pengalaman kekerasan seksual mengaku bahwa pelaku kekerasan seksual yang dialaminya adalah orang yang dikenal. Meskipun tidak sedikit juga yang mendapatkan kekerasan seksual dari orang yang tidak dikenal. Sekali lagi, hasil ini juga menujukkan bahwa satu orang bisa saja mendapatkan kekerasan seksual dari orang yang dikenal dan tidak dikenal.

Dari data hasil survei, bisa dilihat bahwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dikenal, sebagian besar dilakukan oleh orang terdekat seperti pacar (40,6%) dan anggota keluarga (27,2%). Kalau kita lihat jenis-jenis kekerasan seksual yang dibahas sebelumnya, kekerasan seksual dilakukan oleh seseorang atau banyak orang yang lebih kuat atau lebih berkuasa dibandingkan korban. Apalagi pada jenis kekerasan seksual berupa pemaksaan, baik dengan ancaman, iming-iming sampai pemaksaan kekerasan. Yang kuat memaksa yang lemah dengan kekuatan yang dimilikinya.

Kita coba lihat contohnya dari beberapa kasus yang disebutkan di awal tadi

  • Kasus bullying dan pelecegan di salah satu lembaga publik. Korban adalah pegawai kontrak, pelaku adalah pegawai tetap yang lebih senior. Dengan kekuasaanya yang lebih besar sebagai pegawai tetap dan lebih lama di kantor tersebut, pelaku menggunakan relasi kuasanya untuk melakukan kekerasan kepada korban.
  • Kasus perkosaan bapak terhadap ketiga anaknya. Si Bapak menggunakan kuasanya sebagai orang tua untuk memaksa anak-anaknya melayani hasrat seksualnya.
  • Kasus pencabulan polisi kepada anak tersangka, dengan kuasanya sebagai aparat hukum yang menangani kasus orang tua korban, pelaku melakukan pencabulan terhadap korban.

Yang tidak boleh dilupakan juga, dan banyak terjadi di sekitar kita adalah kekerasan dalam hubungan, baik dalam hubungan pacaran ataupun rumah tangga. Di mana yang lebih berkuasa lebih cenderung berpeluang melakukan kekerasan seksual pada pasangannya. Di zaman sekarang, memang tidak sepenuhnya lelaki yang lebih kuat atau lebih punya kuasa, perempuan pun juga bisa punya kuasa lebih, apalagi terhadap pasangannya.

Perempuan, Lebih Rentan Mengalami Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapapun, baik lelaki maupun perempuan. Data menunjukkan bahwa dari sekitar 1.029 responden yang mengalami kekerasan seksual pada dirinya sendiri, sebanyak 66,7% di antaranya adalah perempuan. Lelaki juga menjadi korban kekerasan seksual, tetapi jika dilihat dari proporsi, jumlah perempuan yang mengalami kekerasan seksual 2 kali lipat lebih banyak dibandingkan lelaki.

Kenapa perempuan lebih rentan mengalami kekerasan seksual? Yang pertama, kita tentu ingat tentang pembahasan relasi kuasa sebelumnya. Tidak dipungkiri, saat ini masih banyak lelaki yang lebih merasa berkuasa ataupun merasa lebih kuat daripada lelaki. Apalagi secara fisik, lebih banyak lelaki yang cenderung lebih kuat daripada perempuan. Secara kedudukan dan jabatan, lebih banyak lelaki yang berada di posisi lebih tinggi daripada wanita.

Saya masih ingat penjelasan seorang aktivis perempuan, Kalis Mardiasih ketika mengikuti kelasnya tentang perempuan. Kalis memberikan contoh dengan gamblang dan frontal kenapa perempuan lebih rentan mengalami kekerasan seksual. Secara fisik, tubuh perempuan memang rentan. Bayangkan aja ya, vagina perempuan berbentuk lubang, dan berhadapan dengan penis lelaki yang tegak dan keras. Jangan dibayangkan aneh-aneh ya, itu memang kenyatannya. Tetapi itu bukan menjadi alasan perempuan wajar menjadi korban kekerasan seksual. Justru tanggung jawab kita bersama untuk melindungi perempuan.

Secara umum, laki-laki dan perempuan diciptakan sama oleh Tuhan. Memang ada berbagai perbedaan dalam bentuk anatomi fisik, tapi dalam berbagai kemampuan dan keahlian, tidak ada yang berbeda jauh. Konstruk sosial saja yang membuatnya terlihat berbeda jauh, yang memunculkan ketidakadilan gender bagi perempuan.

Bentuk ketidakadilan gender yang dialami perempuan, antara lain sebagai berikut :

  • Subordinasi, di mana perempuan ditempatkan dalam posisi lebih rendah daripada laki-laki. Ini masih sering terjadi kan, di mana biasanya dalam jenjang karir, masih banyak perempuan yang tidak bisa mencapai posisi yang sama dengan lelaki, hanya karena dia perempuan. Tidak jarang yang masih berpendapat bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin, meskipun sudah banyak bukti pemimpin perempuan yang berhasil.
  • Stereotip gender, adanya pelabelan atau pandangan terhadap suatu gender atau jenis kelamin tertentu. Seperti pandangan bahwa perempuan berdandan untuk menarik perhatian lawan jenis, atau pandangan bahwa perempuan adalah sumber fitnah. Dengan label tersebut, pada kasus kekerasan seksual, perempuan seringkali ditempatkan dalam posisi yang salah.
  • Beban ganda, di mana seringkali kita melihat perempuan bekerja di luar rumah dan tetap melakukan pekerjaan domestiknya di rumah, seperti mencuci, menyapu dan memasak. Pekerjaan domestik ini kadang tidak dianggap sebagai sebuah pekerjaan berharga, karena tidak secara langsung menghasilkan uang. Perempuan mempunyai beban ganda, tapi tidak dianggap tidak produktif.
  • Marginalisasi, yaitu adanya pembatasaan, pengurangan akses dari sumberdaya atau pemiskinan yang dialami perempuan akibat konstruksi gender di masyarakat. Contohnya, pada keluarga yang sama-sama bekerja sebagai buruh sawit, di mana perempuan ikut bekerja, tetapi upah yang dibayarkan hanya untuk kepala keluarga yang laki-laki. Di berbagai industri, gaji perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, dengan pekerjaan yang sama. Belum lagi benefit-benefit pekerjaan yang tidak didapatkan perempuan, padahal didapatkan laki-laki.
  • Kekerasan, dengan anggapan bahwa perempuan lemah dan pasrah, mereka yang punya kuasa lebih besar merasa berkuasa untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan.

Dengan segala ketidakadilan gender tersebut, perempuan lebih rentan mengalami kekerasan, dan lebih rentan untuk disalahkan. Menulis kegelisahan saya tentang kekerasan seksual dan ketidakadilan gender ini, butuh sebuah keberanian tidak jarang saya merasa ngilu dan menangis ketika membaca data-datanya.

Mari bersama saling menjaga, melindungi dan menghargai perempuan.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s