Beberapa waktu lalu saya sempat posting tentang salah satu strategi promosi menggunakan kuis di Instagram yang dilakukan oleh salah satu film Indonesia. Dan akhirnya di bulan Desember 2015 kemarin, film itu tayang juga, Bulan Terbelah di Langit Amerika.
Film yang biasa disingkat BTDLA ini merupakan sekuel film 99 Cahaya di Langit Eropa 1 dan 2. Dilihat dari judulnya sudah jelas bedanya film ini. Kalau 99 Cahaya mengambil tempat di Eropa, BTDLA mengambil latar di Amerika, lebih tepatnya di kota New York.
Yang pasti di sini saya mencoba untuk tidak menjadi spoiler bagi yang belum menonton. Karena film ini merupakan film adaptasi dari buku yang berjudul sama karangan Hanum Rais, tentu saja plot cerita juga tidak jauh dari cerita bukunya. Layaknya film adaptasi buku, pasti ada beberapa perbedaan atau penyesuaian, begitu juga di BTDLA ini.
Alasan saya nonton film ini? Cukup singkat : 1. Abimana 2. Pernah Baca Bukunya 3. Sudah Liat Sekuel Sebelumnya 4. #AyoNontonFilmIndonesia
Jadi, apa yang menarik buat saya di film BTDLA ini. Lihat dulu trailernya ya.
Stefan dan Jasmine
Kedua tokoh ini sepertinya tidak ada dalam BTDLA versi buku. Tokoh Stefan memang ada di dalam 2 sekuel sebelumnya, menjadi sahabat Rangga bersama Khan. Stefan yang diceritakan Atheis di sini setelah lulus dari Vienna akhirnya menetap di New York bersama kekasihnya, Jasmine. Yaps, Jasmine tokoh baru di film ini yang sebelumnya tidak muncul di BTDLA versi buku.
Kehadiran Stefan dalam film ini sebenarnya cukup memberikan nuansa komedi. Persahabatannya dengan Rangga yang biasanya dibumbui guyonan menyentil, debat agama vs atheis cukup membuat penonton tertawa di beberapa adegan.
Kehadiran Jasmine juga menambahkan suasana romantis di dalam film ini. Tidak hanya tentang Hanum-Rangga, tetapi juga Stefan-Jasmine. Sayangnya di dalam film ini mereka digambarkan pasangan yang belum menikah tetapi tinggal satu atap. Mungkin itu memang sesuatu yang lumrah di New York sana, tapi menurut saya kurang cocok untuk film yang semi religi seperti BTDLA. Di akhir cerita pun, kisah Stefan – Jasmine masih menggantung.
Makna Bulan Terbelah
Mungkin bagi orang awam yang belum mengenal Islam, bulan terbelah itu mustahil terjadi. Tapi, diriwayatkan dalam sebuah hadist, bahwa kejadian bulan terbelah pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW. Peristiwa ini terjadi ketika Rasulullah ditantang penduduk Mekah untuk menunjukkan kenabian atau mukjizatnya. Terlepas dari kontroversi tentang temuan bukti bahwa bulan terbelah oleh NASA, tapi sebagai orang muslim, kita sudah seharusnya mengimani Rasululllah dan mukjizat yang dimilikinya.
Film ini tidak menyentuh tentang peristiwa itu sama sekali, karena menurut saya pesan yang ingin disampaikan oleh film ini juga bukan peristiwa bulan terbelah di zaman Rasulullah SAW. Jadi, sebenarnya saya agak heran kenapa banyak yang komentar di beberapa review kok tidak ada adegan tentang penceritaan bulan terbelah. Menurut saya, kata “bulan terbelah”di film ini lebih kepada kiasan dari beberapa kejadian yang ada di film, antara lain :
- “Terbelah” atau terpisahnya Hanum dan Rangga setelah pertengkaran mereka sebelum Hanum datang ke demonstrasi menentang pembangunan masjid di Ground Zero yang dipimpin oleh Michael Jones. Ini juga bisa dilihat dari percakapan Hanum dan Rangga setelah acara awarding untuk Philipus Brown. Hanum sempat berkata “Jangan terbelah lagi ya, Mas” (eeeeeeaaaaa, aku kok jadi baper)
- Terbelahnya persatuan antara kaum muslim dan non muslim setelah peristiwa WTC, 11 September 2001. (Pas ulang tahun saya yang ke 12 tuh)
- Terbelahnya keyakinan Azima Hussein atau Sarah Collins setelah mendengar kabar bahwa suaminya Ibrahim Hussein diduga tersangka peristiwa WTC. Azima mulai ragu dan kehilangan kebanggaan terhadap Islam, agama yang dianutnya
- Terbelahnya hati Stefan dan Jasmine. Jasmine yang ingin berkomitmen, dan Stefan yang masih belum siap berkomitmen
Wah, jadi ada banyak “bulan terbelah” nih. Hehehehe. Dan di akhir film ini, yang terbelah ini semuanya kembali bersatu, kecuali yang paling bawah masing menggantung.
Ada Semangat Positif Setelah Menonton
Film ini memang bukan sepenuhnya film religi, tetapi setelah menonton filmnya rasanya ada beberapa perasaan untuk menjadi lebih baik. Cocok banget di tayangnya pas akhir tahun, bisa jadi motivasi buat resolusi di tahun 2016.
Film ini memberikan pesan bahwa Islam adalah “rahmatan lil alamin”. Keberkahan Islam tidak hanya untuk umat Islam sendiri tetapi juga untuk umat yang lain. Islam tidak hanya tentang hablu minnallah (hubungan dengan Allah), tetapi juga hablu minnannas (hubungan dengan sesama manusia). BTDLA ini juga mengangkat Power of Giving dengan ditampilkannya sosok Philipus Brown, seorang pengusaha yang tiba-tiba berubah menjadi seseorang dengan jiwa sosial tinggi setelah peristiwa WTC.
Jadi banyak introspeksi diri, mencoba merenung, apakah saya sudah bisa menjadi agen Islam yang baik? Apakah saya sudah memenuhi hubungan saya dengan Allah? Apakah saya juga telah memenuhi hubungan saya dengan sesama? Apakah saya sudah menyampaikan bahwa Islam adalah agama yang cinta damai?
Di percakapan antara Hanum dengan Michael Jones, Hanum sempat berkata tentang adanya gambaran Nabi Muhammad SAW di Gedung Mahkamah Agung Amerika. Semoga keberadaan sosok Rasulullah tersebut bukan sarana untuk mengolok-olok Islam, tetapi benar-benar menggambarkan kebanggaan Amerika terhadap Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu orang yang paling berpengaruh dalam menegakkan keadilan.
Would The World Be Better Without Islam?
Ini pertanyaan menohok dan menjadi pertanyaan utama dalam film ini. “Would The World Be Better Without Islam?”. Dan saya sendiri menjawab tegas “NO”. Film ini entah kebetulan rilis setelah kejadian terorisme di Paris. Di balik isu Islam dalam terorisme, film ini menjawab bahwa Islam sebenarnya mengajarkan kedamaian.
Film ini mengingatkan saya tentang perdebatan Fahri dengan orang Yahudi dan profesor yang menganut ateisme dalam novel Ayat-Ayat Cinta 2. Bagaimana jadinya jika dunia tanpa agama? Banyak yang menganggap perpecahan di dunia ini karena perbedaan agama, jadi lebih baik agama dihilangkan saja. Padahal sebenarnya peperangan di dunia ini terjadi karena nafsu dan ambisi manusia.
Dan, menurut saya “Would The World Be Better Without Islam?” jauh lebih menarik dibandingkan ”May The Force Be With You”.
Dari segi pengambilan gambar, sepertinya lebih bagus pas di Eropa. Di BTDLA ini beberapa gambar view New York terkesan goyang dan pecah gambarnya. Sebagai film adaptasi buku, BTDLA ini cukup memuaskan. Pasti memang ada perubahan cerita, namun secara keseluruhan, kalau Anda penyuka film Indonesia, film ini layak ditonton.
Leave a Reply