Cerita tentang “Manut”nya Wanita Jawa di film “SITI”

Ada yang pernah dengar tentang film “SITI”? Bahkan teman sekantor saya bertanya “Memang film “SITI” itu kayak gimana sih, kok temanku juga penasaran”. Film “SITI” memang tidak seterkenal “The Revenantyang dibintangi Leonardo di Caprio yang memenangi beberapa nominasi di Golden Globe Award-73 dan juga menjadi nominasi di banyak kategori pada Academy Award-88 yang digelar Februari nanti. “SITI”, selayaknya film Indonesia yang lain mungkin hanya didengar gaungnya oleh segelintir penikmat film Indonesia seperti saya.

Siti_2014_film.jpg
Poster Film “SITI”

Film “SITI” ini menjadi pemenang Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2015. Tidak hanya satu kategori, film “SITI” yang mendapat nominasi dalam 5 kategori ini bisa membawa pulang 3 kategori, yaitu Film Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik (Eddie Cahyono) dan Penata Musik Terbaik (Krisna Purna). Tidak hanya di FFI, film “SITI” sudah melanglang buana ke berbagai festival film internasional dan tidak pulang dengan tangan kosong.

Apa sih bagusnya film “SITI”? Mungkin yang melihat trailernya sekilas, film ini seperti film jadul karena warnanya yang hitam putih. Memang, film ini dibuat dalam bentuk hitam putih, karena ingin menunjukkan bagaimana warna kehidupan dari Siti (Sekar Sari). Film ini juga unik karena dibuat dengan rasio gambar 4:3 bukan 16:9 seperti film biasanya.

Siti, seorang istri dengan suami yang berada dalam kondisi lumpuh karena kecelakaan kapal. Siti pun harus menjadi tulang punggung keluarga dengan menghidupi anak laki-lakinya, mertuanya dan juga suaminya yang sedang lumpuh tersebut. Siti dan mertuanya berjualan peyek jingking (kepiting kecil, red) di area Pantai Parangtritis. (Jadi inget pas kapan hari backpacking ke Parangtritis dan ngemilin 2 pack udang dan kepiting kecil pas di bis). Karena terbelit hutang, Siti pun terpaksa mencari penghasilan tambahan dengan menjadi penyanyi karaoke. Keputusan Siti ini juga yang membuat suaminya marah dan mogok bicara, tidak hanya kepada Siti tetapi juga kepada anak dan ibunya sendiri. Di sela kebingungannya dengan hutang yang sudah membelit, Siti ternyata dilamar oleh seorang polisi bernama Mas Gatot yang memintanya untuk meninggalkan suaminya. Eniwei, Mas Gatot ini ganteng lho, ala-ala polisi yang kumisan gitu.

Menurut saya, Sekar Sari berhasil memerankan tokoh Siti dengan jempolan. Tidak salah kalau dia diganjar dengan Best Performance for Silver Screen Award di Singapore International Film Festival 2014. Sekar Sari menjadi seorang Siti, wanita Jawa berusia 24 tahun. Sekar memang orang Jawa, lebih tepatnya Yogyakarta, sehingga cocok sekali memerankan Siti.

Oh iya, film ini sepenuhnya menggunakan Bahasa Jawa, lebih tepatnya pakai logat Yogyakarta, tapi tetep ada subtitle Indonesianya kok. Penggunaan Bahasa Jawa ini menurut saya pas banget, cocok suasananya, terkesan tidak dibuat-buat. Di beberapa adegan muncul beberapa istilah sarkas (kalau dalam Bahasa Jawa dikenal dengan pisuhan), tapi sarkasnya orang Jawa bagian tengah tetap ga sesarkas bahasanya orang Surabaya. Bener kan, Cuk?.

Film ini awalnya memang tidak direncanakan tayang di bioskop. Aslinya di film ini ada beberapa adegan yang sebenarnya khusus dewasa. Penayangan di bioskop takutnya akan memotong beberapa adegan dan mengurangi isi cerita. Itu kenapa film “SITI” lebih banyak melanglang buana di festival dan pemutaran film terbatas lainnya. Tapi, di akhir Januari kemarin, film “SITI” pun akhirnya tayang di bioskop, meskipun terbatas.

Film ini menceritakan betapa “setia”nya wanita Jawa. Mungkin fenomena tersebut sudah jarang terjadi terutama di kota besar. Tapi di kampung-kampung Jawa, wanita Jawa yang “setia” itu masih banyak. Siti dengan ikhlas mengurus suaminya yang lumpuh dan bahkan tidak mau berbicara dengannya. Mulai dari memandikan, mengganti baju sampai menyuapi suaminya. Siti pun masih berusaha untuk berkomunikasi dan curhat kepada suaminya, meskipun tidak ditanggapi sedikitpun.  Di sela kesibukannya tiap pagi menggoreng peyek jingking, Siti pun masih menyempatkan dirinya untuk memandikan anaknya yang rewel, mencuci pakaian, dan menemani anaknya bermain. Bahkan Siti masih rela membantu ibu mertuanya. Di dalam hatinya, mungkin Siti lelah, tapi dia tetap manut.

Siti.jpg
Siti Menyuapi Suaminya Sambil Bercerita

Menurut saya, itulah salah satu kelebihan wanita Jawa. Ketika sudah menjadi istri, akan tunduk kepada suaminya, termasuk keluarga suaminya. Bukannya tidak sepakat dengan kesetaraan gender, tapi saya suka dengan sifat wanita Jawa seperti ini. Sebagai seorang wanita Jawa juga, saya punya desire untuk bisa menjadi wanita Jawa yang manut dengan suami. Manut versi saya di sini, bukan serta merta manut saja, tetapi tetap menggunakan logika yang seharusnya. Saya wanita dengan ego yang menurut saya lumayan tinggi, memang perlu berusaha menurunkan ego dan belajar ikhlas untuk bisa menjadi wanita Jawa yang manut. Aaaaaahhh, mungkin ini salah satu alasan saya belum menikah, masih belajar ikhlas dan mengendalikan ego, dan menunggunya yang bisa membuat saya ikhlas, menurunkan ego dan membuat saya manut. (Kok jadi baper gini).

Latar film “SITI” yang menggunakan daerah Parangtritis Bantul ini juga jadi daya tarik. Mengekspose sisi lain Parangtritis, yang ternyata ada tempat karaokenya. Gumuk pasir pun membuat saya tertarik untuk kembali berkunjung ke sana. Dan satu lagi, peyeknya bikin penasaran juga sih.

Lagu yang dipake di film “SITI” ini asik lho. Karena ceritanya kerja di karaoke, lagu yang dibawakan pun lagu dangdut, tapi tetep easy listening menurut saya. Liriknya lugas dan sesuai dengan cerita yang dibawakan dalam film ini. Kalau mau denger, memang belum ada di Youtube sih, tapi bisa didengar streaming lewat https://www.reverbnation.com/fourcoloursfilms7/playlist/-4. Ada 3 lagu di playlist tersebut, yang paling asik sih yang judulnya “Duit Sewu”. Tidak salah kalau Krisna Purna didaulat menjadi Penata Musik Terbaik di FFI 2015.

Penasaran sama film yang berdurasi 90 menit ini? Yuk mari ditonton, mumpung masih ada di bioskop.

 

#AyoNontonFilmIndonesia

2 responses to “Cerita tentang “Manut”nya Wanita Jawa di film “SITI””

  1. Scene epik menurutku itu waktu di pembukaan, Siti ngejar anaknya di gumuk pasir yang lari ga mau dimandiin. Ama saat di akhir cerita dia berjalan menuju pantai.
    Memang, kekuatan utama SITI menurutku ada di akting Sekar Sari.
    Pantas lah diganjar penghargaan.

    1. Balik ke masalah perempuan, liat Siti tuh kayak liat kebalikan perempuan zaman sekarang yg sudah serba enak. Kebayang sih yg pernah Ibuk bilang tentang perempuan itu kerjanya dari bangun tidur sampai tidur lagi.
      Sayang Sekar ga masuk nominasi FFI ya klo ga salah. Dia memang seniman sejati sih,

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s