Generasi 90-an seperti aku (lebih tepatnya sih 1989 di ¾ akhir. Mepet 1990 kan? #udahiyainaja) termasuk generasi yang lahir dan tumbuh besar dalam kondisi Indonesia yang sudah cukup maju dan teknologinya sudah semakin berkembang. Apalagi buat mereka-mereka yang menghabiskan masa kecil di kota, terutama kota besar.
Dua belas tahun masa kecilku aku habiskan di sebuah desa terpencil di pojok barat daya Kabupaten Magetan, berbatasan langsung dengan Jawa Tengah. Listrik PLN masuk kira-kira di tahun 1995, awal aku masuk SD. Begitu juga pengaspalan jalan. Sebelum listrik PLN masuk, penerangan menggunakan beberapa bantuan diesel yang hanya menyala setelah magrib dan kembali putus setelah terang. Setelah masuk listrik PLN, beberapa orang yang punya kelebihan dalam hal materi, mulai beli televisi sendiri, mulanya hitam, baru kemudian berwarna. Karena belum banyak yang punya televisi, jadi nonton televisi pun bareng-bareng di rumah mereka yang punya televisi. Tahun 1995, ketika Ibuk hamil adek, aku ingat aku pernah terkunci di luar karena nonton televisi di rumah tetangga sebelah sampai malam.
Kalau cerita tentang kehidupan sekitar 1980-an di desaku, mungkin aku bisa simpulkan dari beberapa cerita dari Ibuk. Akhir tahun 1980-an, terutama sewaktu aku lahir, belum ada bidan desa. Jadi aku lahir dengan bantuan dukun beranak, prematur tanpa inkubator. Di awal 1980-an ketika Ibuk SMP, belum ada kendaraan umum. Kalau mau ke kota kecamatan tempat Ibuk sekolah dan kos, jalan kaki berangkat jam 3 pagi dari rumah. Zaman itu, belum banyak yang punya sepeda motor, jadi kalau ada suara sepeda motor milik Pak Lurah atau Pak Carik akan terdengar dari radius lebih dari 3 km. Apalagi ya?
Kira-kira bagaimana kehidupan di daerah lain, terutama di Jawa di kala itu ya? Aku kebetulan membaca beberapa novel yang mengambil cerita tentang kehidupan di beberapa daerah di Jawa, sebelum era milenial seperti sekarang. Buku tersebut antara lain : Ulid (Mahfud Ikhwan), Genduk (Sundari Mardjuki), Di Kaki Bukit Cibalak dan Orang-orang Proyek (Ahmad Tohari).
Yuk coba kita lihat satu persatu bagaimana kehidupan di Jawa di era sebelum tahun 1990-an.
Ulid – Mahfud Ikhwan
Novel ini mengambil latar di sebuah desa bernama Desa Lerok, Jawa Timur. Melihat latar belakang Mahfud Ikhwan yang dari Lamongan, sepertinya desa yang digambarkan tersebut tidak berbeda jauh dengan kondisi di Lamongan atau Tuban.
Desa Lerok ini digambarkan sebagai sebuah desa penghasil bengkoang terenak pada masa itu. Selain menanam bengkoang, penduduk Desa Lerok juga mencari uang dengan memproduksi kapur gamping untuk bahan bangunan.
Seiring berjalannya waktu dan berbagai perubahan termasuk efek cuaca, penggundulan hutan dan perkembangan ekonomi, bengkoang dan gamping Lerok mulai menurun kualitasnya. Penduduk yang awal mula menggantungkan diri pada kedua hasil alam tersebut, mulai kehilangan mata pencaharian. Penduduk lelaki yang masih kuat bekerja, akhirnya mendaftarkan diri menjadi tenaga kerja di Malaysia. Waktu itu, sebagian besar TKI dari Lerok datang ke Malaysia secara ilegal melalui jalur laut. Tidak semua TKI yang ke sana bernasib sama, ada yang berhasil mengirim banyak uang, ada yang mengirim uang sedikit, bahkan ada yang gagal karena tertangkap.
Masuknya devisa dari TKI tersebut berpengaruh besar terhadap perkembangan Desa Lerok. Jalan-jalan semakin diperbaiki, semakin banyak kendaraan bermotor dan barang elektronik yang dimiliki penduduk. Namun di sisi lain, jumlah lelaki/penduduk usia produktif berkurang banyak, karena sebagian besar dari mereka bekerja di Malaysia. Yang tinggal di Desa Lerok, tinggal ibu-ibu, kakek nenek dan anak-anak sampai remaja.
Masjid semakin megah karena mereka yang bekerja sebagai TKI rajin memberikan sumbangan sebagai ungkapan syukur. Megah tapi sepi, karena banyak yang di luar negeri, yang di desa pun lebih banyak yang memilih nonton televisi.
Kejadian mirip sama di desaku sih. Hehehehe.
Genduk – Sundari Mardjuki
Novel ini mengambil latar sebuah desa di lereng Gunung Sindoro, lebih tepatnya di daerah Kabupaten Temanggung. Desa ini dikenal sebagai daerah penghasil tembakau.
Di sana, tembakau dijual petani kepada tengkulak dengan harga yang kurang masuk akal. Secara kualitas, tembakau memang dibagi beberapa tingkatan. Namun, harga yang diberikan oleh tengkulak berbeda jauh dengan harga diberikan oleh pabrik. Apakah sekarang jauh berbeda? Sepertinya sistem tengkulak masih mendarah daging di Indonesia.
Novel ini menceritakan tentang kondisi di tahun 1970-an. Keluarga petani tembakau, biasanya hanya keluarga petani dengan lahan yang tidak terlalu besar. Diceritakan juga tentang bagaimana penduduk di sana harus makan singkong saja untuk mengganjal perutnya. Tokoh “Yung” dalam ini adalah seorang single mother yang bekerja layaknya laki-laki di kebun tembakau miliknya.
Di novel ini juga diceritakan tentang proses masuknya Islam ke dalam masyarakat Jawa, yang terkenal dengan kepercayaannya yang Kejawen. Banyak pertentangan yang terjadi termasuk, dalam hal pernikahan. Untung saja zaman itu belum ada media sosial ya. Hahahaha
Di Kaki Bukit Cibalak – Ahmad Tohari
Novel ini mengambil latar tempat di Bukit Cibalak, kalau dilihat dari penggambarannya sih sepertinya di daerah sekitar Purwokerto. Novel ini menceritakan tentang sebuah desa dengan lurah yang diangkat karena pemilihan yang curang dan berbagai intrik di pemerintahan desa. Kalau bicara tentang pemilihan kepala daerah langsung, pemilihan lurah/kepala desa memang sudah dilakukan dengan sistem langsung sejak lama, bahkan sebelum reformasi.
Novel ini juga menceritakan tentang korupsi tingkat kecil di desa. Mulai dari korupsi dana koperasi yang digunakan oleh lurah untuk pelantikan. Ataupun penggelapan dana ganti rugi tanah, di mana pemilik tanah diberi ganti rugi yang tidak seharusnya. Termasuk juga koperasi sebagai lembaga simpan pinjam yang bisa dibilang malah menjadi pencekik rakyat karena bunganya yang melambung. Sekarang, di kota-kota besar dengan pemimpin yang sudah lebih bersih, korupsi-korupsi tersebut mungkin sudah berkurang dan mulai hilang. Di desa pelosok? Mungkin praktek korupsi kecil seperti itu masih ada. Lihat saja kepala desa di desa tempat tinggal Salim Kancil di Lumajang yang punya rumah mentereng.
Logika sederhana tentang politik ditulis oleh Ahmad Tohari di sini. Lurah memang jabatan di tingkat bawah, namun logika ini bisa digunakan untuk jabatan-jabatan di atasnya. Jabatan memang banyak dicari. Orang yang menginginkan jabatan untuk dirinya sendiri, akan meraihnya dengan berbagai cara dan berapapun biayanya. Setelah menghabiskan banyak biaya, fokus selama jabatan adalah mengembalikan uang yang digunakan untuk bisa mendapatkan jabatan tersebut. Bagaimanapun caranya, mau halal ataupun haram. Logika ini sepertinya berlaku untuk perebutan jabatan PNS dengan jalur belakang.
Orang-orang Proyek – Ahmad Tohari
Novel ini menceritakan tentang pembangunan sebuah jembatan yang dipegang oleh seorang insinyur. Perjalanan proyek akan selalu disertai dengan berbagai drama. Termasuk drama pertentangan antara sang insinyur dan kepala proyek.
Anggaran proyek harus dipangkas karena digunakan untuk perayaan ulang tahun sebuah golongan massa tertentu, golongan milik penguasa. Karena pemangkasan tersebut, bahan-bahan yang digunakan untuk pembangunan jembatan harus diturunkan kualitasnya, yang penting jembatan jadi. Urusan berapa lama akan rusak urusan belakang. Pertentangan batin sang insinyur membuatnya keluar dari proyek
Di tengah menulis ini, aku sempat kepikiran satu buku lagi yang mengambil latar sebelum 90-an. Buku ini malah mengambil latar tempat di kabupaten tempat tinggalku, dan ditulis oleh penulis dari kabupaten itu juga. Judul bukunya “Entrok”, karangan Okky Madasari. Karena buku itu spesial menulis tentang daerahku, sepertinya menarik untuk dibahas tersendiri.
Leave a Reply