Negeri Dongeng itu bernama Indonesia

Tulisan ini bukan cerita panjangku tentang negeri Indonesia yang aku cintai. Cieeee. Tulisan ini tentang sebuah film berjudul “Negeri Dongeng”, sebuah film yang menggambarkan tentang negeri yang aku cintai ini. (Neser mulai mbulet dan belibet, karena kangen mungkin. Eeeeaaakkk).

Oke, kembali ke topik, “Negeri Dongeng”, sebuah film dokumenter yang disutradarai oleh Anggi Frisca. Film yang menceritakan tentang perjalanan menaklukkan 7 puncak gunung di 7 pulau di Indonesia ini diproduksi oleh Aksa 7. Angka 7 ini berarti 7 puncak, 7 pulau oleh 7 ekspeditor (termasuk dengan sinematografer/kameramennya juga). Selain ekspeditor utama, juga ada beberapa ekspeditor tamu seperti Medina Kami, Darius Sinathrya dan Nadine Chandrawinata.

poster-negeri-dongeng-1.jpg

 

Perjalanan mereka dimulai pada bulan November 2014 di Pulau Sumatra, dengan menaklukkan puncak dari Gunung Kerinci, langsung berlanjut ke puncak Gunung Semeru di Jawa Timur. Perjalanan berlanjut pada Januari 2015 di Gunung Rinjani, Lombok dan Gunung Bukit Raya di Kalimantan pada bulan Februari 2015. Sempat berhenti sejenak, perjalanan kembali dimulai di Mei 2015 di Gunung Latimojong, Sulawesi Selatan. Puncak selanjutnya adalah puncak Gunung Binaiya di Pulau Seram, Maluku. Ekspedisi ini ditutup dengan perjalanan paling berat menuju Puncak Cartenz di Papua.

Tidak hanya memperlihatkan keindahan pemandangan pegunungan di sebuah negeri dongeng bernama Indonesia, perjalanan yang diabadikan dalam film ini juga menyoroti berbagai hal tentang kehidupan di daerah yang mereka lewati, yang tidak semua orang Indonesia ketahui. Seperti perkebunan teh di lereng Gunung Kerinci, yang menghasilkan teh berkualitas. Teh dari perkebunan tersebut kebanyakan diekspor keluar negeri. Grade ke-3 dari teh tersebut baru dijual ke negeri sendiri, menjadi teh kualitas premium. Grade ke-1 dan ke-2 dijual ke luar negeri. Kebayang kan sebenarnya nilainya teh yang dijual itu seberapa besar? Apakah para pemetik teh sendiri juga menikmatinya? Hmmmm, ternyata tidak. Miris kan ya. Negeri kita “kaya” sumber daya alam, tetapi belum semua menikmati hasil kekayaan tersebut. Seperti kekayaan alam kita di hutan Kalimantan, mulai diabaikan karena ditemukannya tambang emas di berbagai titik? Apa kabar hutan? Karena dirasa tidak memberi kehidupan yang layak, mulai tidak dijaga.

Selama menginap di pemukiman penduduk, tim ekspeditor juga mendapatkan banyak pengalaman. Seperti terbukanya warga desa dengan orang asing, tanpa curiga, dan dengan ikhlas memberikan makanan yang layak. Bahkan di daerah yang mungkin dianggap sebelah mata seperti di Papua, para penduduknya pun membantu menjadi porter dengan ramah dan bahagia. Di sisi lain, kita juga melihat masih banyak penduduk Indonesia yang belum bisa mendapatkan akses pendidikan yang layak.

Keindahan alam Indonesia tidak diragukan lagi. Sepanjang perjalanan kita akan dimanjakan dengan berbagai pemandangan yang menyejukkan mata. Salah satunya sebuah desa dalam perjalanan ke Gunung Binaiya, Maluku yang jalannya bukan dari batu atau aspal, tetapi dipenuhi oleh rumput sejenis rumput hias di taman. Hijau banget, sepertinya tidur siang beralaskan rumput saja sudah asik. Yang belum tahu bagaimana bentuk es abadi satu-satunya di Indonesia, di film ini kita bisa melihatnya. Es abadi di Puncak Cartenz yang mulai menyusut karena perubahan alam.

Screenshot 2017-11-08 19.02.10
Desa di perjalanan menuju Gunung Binaiya, Maluku (Sumber : Screen Capture dari Trailer. Haha)

Yang pasti film ini memberikan banyak edukasi kepada para pendaki gunung. Tentang pentingnya kerjasama, saling menolong dan mengurangi ego masing-masing. Para ekspeditor yang tinggal di kota, merasakan gunung bisa menyatukan mereka dan mengurangi ego masing-masing. Mereka sempat kembali beberapa bulan ke kota, ketika kembali mendaki, mereka merasakan ego mulai kembali muncul di diri mereka masing-masing.

Edukasi yang penting juga antara lain, masalah sampah, sebuah masalah klise yang dihadapi Indonesia. Ngakunya anak gunung masih buang sampah sembarangan. Kalau di gunung sukanya yang instan-instan, bawa kopi sachet, mie instan dan makanan yang mudah diolah, yang tanpa kita sadari memperbesar kemungkinan menambah sampah. Bagaimana cara menguranginya? Ini yang aku baru tahu juga dari film ini. Kalau perginya berbanyak, bahan makanan/minuman yang sejenis dijadikan satu plastik saja, bisa mengurangi kemungkinan membawa sampah yang banyak kan?

Selain perjalanan pada ekspeditor, satu adegan yang cukup bikin bergetar adalah pembacaan Sumpah Pemuda di masing-masing puncak yang sudah dicapai oleh ekspeditor sambil memegang bendera merah putih. EPIC banget ini.

Perjalanan mereka pun tambah menghanyutkan karena soundtrack­ yang digunakan dalam film ini keren banget. Musikalisasi puisi “Pada Suatu Hari Nanti” dan “Sajak Kecil tentang Cinta” yang diaransemen oleh duet Ari – Reda. Ini nih lagunya.

 

Abis nonton film ini, kemudian ada berita tentang pembangunan sarana wisata di Puncak Ijen. BIG NO! Biarkan gunung dengan semua keasliannya. Yang maunya serba instan dan serba tersedia jangan ke gunung

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Blog at WordPress.com.

%d bloggers like this: