Media Sosial dan Stereotip yang Menempel pada Penggunanya

Mau nulis tentang media sosial dari  beberapa tahun lalu belum keturutan. Sempat sih kapan hari nulis tentang penggunaan story di sini #NeserKepo : Penggunaan Fitur “Story”/”Live” di Media Sosial. Kali ini menjelang Ajang Pungut Suara (pinjam istilah yang ada di buku Ular Tangga karangan Anindits S.Thayf) media sosial akan jauh lebih riuh dari biasanya, sepertinya menarik juga kalau dibahas nih tentang beberapa stereotip yang menempel pada pengguna masing-masing media sosial. Masih sekadar stereotip ya bukan hasil penelitian kuantitatif dengan sampel tertentu. Beberapa adalah hasil pengamatan dari saya sendiri sebagai pengguna media sosial.

social-media.jpg

Facebook dan Home yang Isinya Hampir Penuh dengan Reshare

Facebook mulai ramai digunakan oleh generasi saya di sekitar tahun 2009an. Dengan fitur yang masih tidak banyak, Facebook menjadi media curhat dan alay paling banyak digunakan di masa itu. Tidak jarang kita menemukan nama alay (termasuk saya juga sih, pernah pakai nama “Nduk Nez”). Kalau kita sering buka “Kenangan” yang disediakan Facebook, pasti kita bisa menemukan beberapa status alay di tahun-tahun itu.

Tiga tahun terakhir, Facebook mulai ramai dengan generasi Y yang usianya sudah masuk kepala 4 tapi baru kenal media sosial ini. Mirip dengan kita generasi milenial sewaktu media sosial ini ngehits, mereka yang lebih dewasa dari kita pun ikutan alay. Tidak jarang kita melihat status yang galau, curhat ataupun nyindir pasangan sendiri.

Sebagai media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia, tentulah Facebook jadi tempat buat promosi. Facebook sendiri sudah punya fitur Facebook for Business kalau benar-benar mau promosi secara lebih profesional dan terarah. Kalau tidak punya budget banyak untuk promosi, ya tinggal upload foto produk dan beri keterangan singkat. Itu yang biasa dilakukan oleh pengusaha via MLM. Promosi boleh, tapi jangan terlalu sering sih, kalau yang lihat bosan jadinya bisa di-unfriend atau unfollow lho.

Kalau berbicara tentang pesta demokrasi baik yang tingkat daerah maupun nasional, Facebook mulai ramai sejak menjelang Pilkada 2014 sampai sekarang menjelang Pilkada 2019. Seiring kebebasan berpendapat yang didukung perkembangan teknologi yang pesat melalui media sosial, berbagai jenis berita dan informasi bisa kita dapatkan di sini. Mulai dari berita yang bisa dipercaya, sampai berita meragukan bahkan hoax. Dan fitur Share atau Bagikan menjadi andalan penyebar berita untuk melancarkan aksinya. Bahkan kalau dilihat-lihat, beberapa waktu terakhir kalau buka Facebook, scroll bentar, isinya banyak yang reshare berita atau postingan orang lain.

Kalau sudah berita yang viral disebarkan, kolom komentar pun mulai ramai. Yang pro banyak, yang kontra juga banyak. Kalau dilihat-lihat sebagian besar yang berdebat di kolom komentar ini adalah generasi Y, atau generasi milenial yang lahir di awal-awal. Generasi milenial ke mana? Mereka pindah ke media sosial yang lain, meninggalkan Facebook yang menurut mereka membuat jengah.

Eh benar ga nih kalau stereotipnya gitu? Pengguna Facebook sukanya debat dan kebanyakan reshare.

Instagram yang Penuh Kemewahan dan Nyinyiran

Saudaranya Facebook ini, sebelum dibeli Facebook dulu pas awal-awal dibuat memang sebenarnya lebih banyak ditujukan untuk media pamer keindahan visual terutama melalui foto dalam bentuk square. Jadi jangan heran kalau media sosial ini dibekali dengan berbagai fitur Filter di aplikasinya.

Seiring perkembangan media sosial dan generasi milenial yang mulai beranjak punya banyak uang, Instagram mulai jadi tempat untuk pamer. Mungkin memang tidak semua penggunanya seperti itu. Tapi pasti jarang kan lihat kemiskinan dipamerkan di Instagram, kecuali kalau kalian adalah aktivis sosial yang suka street photography.

Memang salah kalau pamer? Enggak, itu hak kalian sebagai pengguna media sosial kok.

Ternyata kemewahan juga mengundang nyinyiran. Instagram mulai jadi infotainment dengan munculnya banyak akun lambe-lambean yang suka gosipin mereka yang katanya artis. Dikit-dikit cekrek, dikit-dikit cekrek. Kalau mau waras, mending unfollow akun model seperti itu. Kenapa? Awalnya biasa, kemudian nagih kepo sampai ga bisa tidur karena penasaran sama gosipnya.

Setujukah kalian kalau Instagram itu ajang pamer kemewahan dan nyinyir?

Twitter untuk Sobat Misqueen dan Suka Satir

Merasa tidak punya kemewahan yang dipamerkan, beralihlah pengguna media sosial kembali ke Twitter. Iya, media sosial yang sudah sempat terseok-seok ditinggalkan penggunanya karena menemukan Instagram yang sepertinya menarik. Namun karena yang menarik belum tentu nyaman, kembalilah mereka kembali ke Twitter.

Media sosial dengan konsep microblog yang dibatasi jumlah karakter ini mulai kembali hidup, dengan istilah sobat misqueen sejenis menyindir kemewahan pengguna Instagram. Twitter kini sudah bisa digunakan untuk menulis 280 karakter. Kalau mau nulis agak panjang seperti di Tumblr yang sudah diblokir Kominfo itu, Twitter sudah memperkenalkan fitur Thread, jadi twit kita bisa nyambung, meskipun dibatasi 280 karakter. Twitter mengajari kita untuk berlatih menggunakan karakter yang dibatasi secara efisien tapi ngena.

Kalau di Instagram dan Facebook cenderung banyak yang debat atau nyinyir di kolom komentar, kalau di Twitter orangnya cenderung satir. Jadi jangan gampang nyolot ya kalau baru masuk Twitter atau baru kembali ke Twitter. Cek medan dulu, beda banget sama yang di sebelah.

Twitter pun media sosial ternyaman untuk saya dibandingkan 2 lain yang kita bahas sebelumnya. Banyak informasi di Twitter yang jauh lebih update. Public figure dan influencer yang saya ikuti di Twitter pun banyak memberi informasi bermanfaat buat saya. Baik dalam bentuk thread, twit, retweet maupun tautan berita ataupun artikel. Memang semua itu tergantung akun siapa yang kita follow atau ikuti sih.

Menjelang Ajang Pungut Suara gini, Twitter akan ramai dengan mereka buzzer akun-akun ternakan, yang biasanya pakai username banyak angkanya. Tapi karena tadi karakter yang disediakan terbatas, pengguna Twitter tidak bisa banyak berdebat panjang. Tapi asyik juga kok mengamati timeline-nya.

Sebagai pengguna setia Twitter sejak 2009, saya rela disebut sobat misqueen maupun satir. Iya karena saya orang biasa dan kalau ngomong  kadang satir. Jadi, kalau saya pernah ngomong sengak atau judes, tolong dipahami dulu, mungkin itu saya satir. Kalian perlu mengenal saya lebih jauh. Sini follow saya dulu di @neserike.

 

 

6 responses to “Media Sosial dan Stereotip yang Menempel pada Penggunanya”

  1. Emang saiki facebook yg nduk nez udah g aada ya

    1. Usernamenya kan bisa diganti, tapi kalau lihat URL linknya itu yang tetap dari zaman awal buat akun

  2. Sudah meninggalkan Twitter, Instagram, Path dan FB. Ngeblog aja deh 🙂

    1. Hehehe, tergantung pilihan sih. Path udah enggak. IG sama FB masih. Tapi Twitter masih sering, banyak infonya sih di sana

      1. Path sepi banget, nyiahahaha. Udah seminggu login lagi. Yg online ga sampe 10

  3. […] melalui Media Sosial dan Stereotip yang Menempel pada Penggunanya — Catatan Neser […]

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s