Bulan April 2019, film Indonesia di bioskop lagi menggoda banget. Ada beberapa film yang sudah berkeliling di festival ditayangkan di jaringan bioskop. Setelah film Ave Maryam yang bercerita tentang falling in love with people we can’t have, tayanglah dua film yang cukup berbeda dan anti mainstream dibandingkan film Indonesia yang biasanya tayang. Kedua film ini memperlihatkan betapa besar pengaruh kekerasan (terutama kekerasan seksual) yang dialami seseorang terhadap hidup ke depannya.

Kedua film ini ternyata mendapatkan penghargaan di Festival Film Tempo 2018. Tidak hanya penghargaan tersebut, kedua film ini yang sudah lebih dahulu berkeliling di festival kelas dunia, juga mendapatkan banyak penghargaan. Film “27 Steps of May” mendapatkan Golden Hanoman Award untuk kategori film panjang Asia terbaik di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2018. Raihaanun, aktris yang memerankan sosok May mendapatkan penghargaan sebagai Aktris Terbaik dalam ASEAN International Film dan Festival Award (AIFFA) 2019 yang diserahkan di Malaysia.
Tidak mau kalah, film Kucumbu Tubuh Indahku yang digarap oleh sutradara Garin Nugroho ini juga mendapatkan penghargaan Bisato D’Oro Award 2018 dari Venice Independent Film Critic pada awal bulan September, serta Best Film pada Festival Des 3 Continents, di Nantes, Perancis, pada pertengahan bulan November 2018.
Kucumbu Tubuh Indahku yang Kontroversial
Film dengan judul internasional “Memories of My Body” ini menceritakan tentang kehidupan seorang penari Lengger yang bernama Juno (Muhammad Khan). Cerita ini terinspirasi dari cerita asli seorang penari Lengger bernama Rianto yang juga berperan menjadi narator dalam film ini.
Penari Lengger biasanya adalah lelaki, yang didandani seperti penari perempuan, lengkap dengan sanggul dan pakaian ala penari perempuan. Di beberapa kasus, memang lelaki yang menjadi penari Lengger ini akan terlihat gemulai seperti perempuan dalam kehidupan kesehariannya. Seakan memiliki sifat feminin dan maskulin dalam satu tubuh.
Film ini mencoba menceritakan pergulatan hidup Juno sebagai penari Lengger yang memiliki sifat feminin dan maskulin dalam tubuhnya. Film ini sempat mendapat petisi untuk dilarang penayangannya di bioskop dan mendapatkan surat peringatan di oleh beberapa daerah. Film ini dirasa membawa isu LGBT yang akan mempengaruhi moral penonton Indonesia. Meskipun sebenarnya, film ini sudah turun layar sebelum petisi tersebut tertandatangani sesuai target, karena sudah lebih dahulu kalah dengan gempuran film Avengers : Endgame. Beberapa pemerintah daerah mengirimkan surat kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk melarang penayangan film ini. Lagi-lagi banyak pemerintah daerah yang salah tujuan, karena KPI hanya mengurusi tayangan di lembaga penyiaran publik seperti televisi dan radio. Sedangkan kewenangan pelarangan film berada di bawah Lembaga Sensor Film (LSF).
Kalau kita mau melihat sedikit lebih dalam dari film ini, film ini juga menceritakan tentang trauma kekerasan yang diterima Juno sejak kecil. Setelah ditinggal Bapaknya pergi, Juno hidup berpindah-pindah. Mulai dari sempat ikut dengan padepokan Tari Lengger, tinggal dengan BuLiknya, tinggal dengan pamannya yang penjahit, sampai akhirnya ikut dengan warok.
Di setiap fase hidupnya tersebut, Juno melihat atau mengalami kekerasan. Juno kecil melihat seorang penari dibunuh oleh guru tari di padepokan dengan sadis dan berdarah-darah. Juno kecil juga sering diberi hukuman BuLiknya dengan menusuk jarinya dengan jarum sampai berdarah. Cerita berdarah yang dilihat atau dialami Juno pun tidak selesai ketika sudah beranjak remaja.
Film ini sebenarnya sungguh kompleks dan bisa menyindir banyak pihak. Termasuk cerita tentang pemilihan kepala daerah yang menghalalkan segala cara, termasuk cara yang sifatnya mistis. Cerita tentang kehidupan suami istri yang berantakan juga secara tersirat diceritakan. Sama-sama saling tahu sudah tidak bisa bersama, tapi tetap bersama karena alasan kekuasaan.
Perjalanan Hidup May yang Monoton dan Lambat
Berbeda dengan Kucumbu Tubuh Indahku, film 27 Steps of May memang secara khusus menceritakan tentang trauma hidup yang dialami oleh May, penyintas perkosaan. May kecil diceritakan diperkosa oleh sekelompok ketika berumur 14 tahun, setelah bermain di pasar malam. Sejak malam itu, May tidak pernah keluar rumah.
Selama 8 tahun, hidup May terkesan monoton di dalam kamarnya. Tidak berbicara dengan siapapun, termasuk ayahnya (Lukman Sardi). May keluar kamar hanya untuk makan dengan ayahnya, dengan menu makan May yang serba putih dan tawar. Pagi May dimulai dengan olahraga lompat tali di kamar, mandi, setrika baju (yang sama model dan warnanya setiap hari), mengikat rambut dan membuat boneka dengan ayahnya, tanpa bicara. Boneka yang dibuat oleh May kemudian diambil oleh kurir (Verdy Sulaiman) yang menjadi teman bicara ayah May.
Tidak kuat memendam bebannya sendiri, untuk melampiaskan emosi dan rasa bersalahnya, ayah May bermain tinju setiap malam. Semakin merasa bersalah, semakin emosi main tinjunya. Sedikit guncangan, teriakan, ataupun kontak fisik yang membuat May mengingat kejadian 8 tahun lalu akan membuat May depresi berat, dan melukai pergelangan tangannya dengan silet.
Hidup May yang monoton mulai sedikit berwarna dengan adanya pesulap (Aryo Bayu) yang menjadi tetangganya. Lama-kelamaan May pun dekat dengan pesulap tersebut.
Film ini memperlihatkan kepada saya bahwa menjadi penyintas kekerasan seksual bukanlah hal yang mudah. Dan, kekerasan seksual sekarang bukan hanya dilakukan oleh preman tidak dikenal. Tidak sedikit pelaku kekerasan seksual adalah keluarga bahkan suami korban sendiri. Beberapa waktu lalu saya sempat menonton ulang film “Perempuan Berkalung Surban” yang juga terdapat adegan kekerasan dari suami yang masih terus teringat bahkan setelah bercerai dan menikah lagi. Sedikit sentuhan yang mengingatkan tentang kekerasan seksual yang dialami akan membuat penyintas tiba-tiba trauma mendalam.
Apakah May akan melupakan traumanya? Apakah May akan keluar dari kamarnya? Apa arti 27? Tonton yuk kalau belum turun. Tapi kalau tidak suka film yang ritmenya lambat, jangan nonton film ini. Karena selama kurang lebih 112 menit penayangan, ritmenya lambat dan monoton. Tapi kita bisa belajar banyak hal dari film ini.
Leave a Reply