Bulan April 2019 ditunggu oleh penggemar film-film Marvell, karena sekuel terakhir Avenger, yaitu Avenger : Endgame akan rilis di bulan keempat tahun 2019 ini. Tapi, ternyata saya terlalu berbeda. Saya malah lebih menunggu empat film Indonesia yang tayang di bulan April ini. Keempat film tersebut adalah Mantan Manten, Ave Maryam, 27 Steps of May dan Kucumbu Tubuh Indahku.
Baca Juga : “Mantan Manten : Tentang Sebenar-benarnya Ikhlas yang Terbalut dalam Budaya Jawa
Setelah “Mantan Manten” sudah saya tonton minggu lalu, kemarin saya pun nonton “Ave Maryam”. Film yang mengangkat cerita kehidupan biarawati ini hanya berdurasi kurang dari 1,5 jam, hampir setengah dari durasi film Avenger : Endgame yang infonya berdurasi selama 3 jam.

Semoga setelah saya menulis ulasan ini dan membagikannya di media sosial tidak ada yang menyebut saya kafir atau pindah agama karena menonton film tentang kehidupan pemeluk agama lain. Lagipula saya juga sering menonton film tentang kehidupan ulama Islam Indonesia seperti KH Ahmad Dahlan di Sang Pencerah ataupun KH Hasyim Asyari di Sang Kiai.
Film ini mengambil latar tahun 1998, tentang kehidupan biarawati berumur 40 tahun di Semarang bernama Maryam (Maudy Koesnaedi). Sebagai biarawati, Maryam harus mengabdikan hidupnya kepada gereja, termasuk merawat biarawati yang sudah lanjut usia. Seorang biarawati seperti Maryam mempunyai kaul (janji) untuk tidak menikah sepanjang umurnya.
Hidup Maryam berjalan dengan rutinitas seperti biasanya, sampai kemudian datang seorang romo yang agak nyentrik yaitu Romo Yosef (Chicco Jheriko) yang menemani suster Monic (Tuti Kirana) kembali ke Semarang, kampung halamannya.
Cinta yang Tak Bisa Memiliki
Suster Maryam dan Romo Yosef pun saling jatuh cinta. Tapi karena mereka berdua punya kaul untuk tidak menikah, cinta mereka berdua layaknya falling in love with people we can’t have. Jadi mumpung kalian masih bisa jatuh cinta, dan masih ada kemungkinan untuk saling memiliki karena tidak terikat kaul dan tidak terikat pasangan resmi, bersyukurlah dan berjuanglah untuk cinta kalian. Eeeeeaaaa
Romo Yosef yang ahli orkestra pun mendekati Suster Maryam dengan ungkapan-ungkapan puitis namun tidak receh seperti Dilan, atau tidak terlalu kaku seperti Rangga.
Saya ingin mengajak Anda berjalan-jalan mencari hujan di musim kemarau
Romo Yosef
Bagamana kelanjutan cerita cinta Suster Maryam dan Romo Yosef? Tonton di bioskop segera ya, karena film ini tidak mendapat banyak layar, mungkin karena temanya yang tidak kekinian dan mungkin bisa jadi kontroversi. Berharap juga bisa tayang di aplikasi video on demand dalam versi yang tidak disensor. Karena versi bioskop ini sudah dipotong 12 menit dari versi festival. Adegan dewasanya sudah ga ada.
Toleransi Tanpa Banyak Orasi
Jika era sekarang banyak yang bilang kata “toleransi” dengan kalimat yang menggebu-gebu, film Ave Maryam ini menyampaikannya sederhana, bahkan tanpa dialog. Seorang gadis pegantar susu bernama Dinda yang berhijab selalu datang mengantarkan susu ke dapur para biarawati. Dalam sedikit dialognya, Suster Maryam sempat mengucapkan kata “alhamdulillah” ketika berbicara dengan Dinda. Dinda juga yang menjadi kurir surat antara Suster Maryam dan Romo Yosef.
Suasana toleransi juga digambarkan ketika Suster Maryam sedang berjalan di kawasan Kota Tua Semarang berpapasan dengan sekelompok siswi SMA berhijab, tanpa ada olok-olokan tanpa ada saling menghindar.
Kutipan Religius Bermakna Universal
Meskipun film ini bernuansa Katolik, tetapi banyak pelajaran dari kutipan dalam film ini yang maknanya universal dan cocok sekali dengan kondisi saat ini.
Jika surga belum pasti buat saya, buat apa saya mengurus nerakamu
Suster Monic
Biarkan ibadahmu menjadi rahasiamu dengan Tuhanmu, seperti kamu merahasiakan dosa-dosamu
Suster Monic
Beneran kan kutipannya cocok banget sama masa sekarang yang saling merasa paling benar dalam agama dan ibadah masing-masing.
Tahun 1998 yang Ganjil
Film ini diceritakan berlatar tahun 1998. Tone warna memang sudah menunjukkan suasana tempo dulu. Tapi ada beberapa adegan yang tidak sesuai dengan tahun 1998.
Misalnya, sewaktu Suster Maryam membeli buku, dua buku bekas di tukang loak harganya Rp 30.000,-. Kok rasanya Rp 30.000,- di tahun 1998 tergolong sudah banyak ya, ga mungkin cuma dapat 2 buku saja. Selain itu, uang kertas yang diberikan Maudy kepada pemilik toko seperti uang 10ribuan dan 20ribuan yang emisi sekarang, bukan emisi tahun 1998-an.
Buku yang dibaca Maryam dan ditemukan oleh Suster Monic ketika memasuki kamar Maryam, dari sampulnya juga seperti sampul buku yang terbit dalam beberapa tahun terakhir ini. Meskipun belum pasti buku apa, sepertinya tahun 1998-an buku dengan sampul agak vulgar sepertinya tidak bisa dengan bebas beredar.
Traveling Semarang Tempo Dulu
Film ini memanjakan kita dengan suasana Kota Tua Semarang, mulai dari Gereja Blenduk sampai dengan Spiegel yang sudah direstorasi menjadi Spiegel Bar dan Bistro tahun 2015 lalu. Mungkin karena ini memang film fiksi ya, tapi Spiegel tahun 1998 memang belum direstorasi, sedangkan di sini Spiegel menjadi tempat Suster Maryam dan Romo Yosef pertama kalinya kencan.

Sumber : travelovely.blogspot.com

Sumber : Instagram @vegaviditama
Setelah sekian lama tidak ke Semarang buat jalan-jalan, film ini lumayan bikin kangen jalan-jalan di kota tua Semarang.
Leave a Reply