“Dua Garis Biru”, Bukan Film Biru

Setelah film “Kucumbu Tubuh Indahku” yang dipetisi, -yhaaa meskipun petisinya malah nyasar ke lembaga negara yang komisionernya berkacamata nan uwuwuwuwuwuwuwuw seperti kamu Mas, bukan ke lembaga seharusnya yaitu LSF- ada lagi satu film Indonesia yang dipetisi sejak sebelum tayang. Ternyata, petisinya dibatalkan dan per tanggal 11 Juli 2019 kemarin sudah beredar di bioskop-bioskop Indonesia. Film ini judulnya “Dua Garis Biru”.

Film yang posternya menampilkan dua wajah remaja nan imut, di atas tempat tidur di bawah selimut tersebut sontak menimbulkan berbagai pro kontra dan memunculkan banyak boikot. Apalagi setelah melihat trailer-nya, makin banyak orang yang mengganggap film ini sebagai film perusak generasi muda karena menceritakan tentang hamil di luar nikah atau dulu bahasa istilahnya married by accident (MBA).

Poster “Dua Garis Biru”

Wahai para penduduk negeri +62 yang suka sekali menilai sebuah sesuatu dari trailer-nya saja, mending baca ulasan saya dulu atau langsung cuss ke bioskop buat nonton film Dua Garis Biru ini deh. Karena buat saya sendiri yang sudah tidak remaja, belum menikah dan belum punya anak, film ini tuh ngena banget. Fenomena kehamilan di luar nikah pada perempuan remaja itu nyata lho terjadi di sekitar kita bahkan mungkin menimpa teman dekat atau keluarha kita. Film ini bukan menceritakan ena-ena-nya, tapi ga enaknya hamil di luar nikah dan masalah-masalah yang akan dihadapi kedepannya sebagai pasangan yang masih amat muda.

Meskipun sempat diboikot, film ini ternyata malah menarik banyak penonton. Awalnya saya nonton di hari pertama agar tidak ketinggalan jika film ini turun layar dalam waktu cepat. Tapi ternyata antusiasme penonton film ini cukup besar. Sampai di hari ke-5 penayangan, film Dua Garis Biru sudah ditonton hampir oleh sejuta penonton. Keren! Informasi ini akan terus diupdate oleh penulis skenario sekaligus sutradaranya, yaitu Gina S. Noer di akun media sosialnya.

Bima (Angga Yunanda, yang ternyata anak Lombok) dan Dara (Zara JKT48 yang poninya lucu), adalah siswa kelas 3 SMA yang pacaran. Bima tinggal di pinggiran kampung Jakarta, yang ibunya adalah penjual gado-gado (Cut Mini) dan bapaknya seorang pensiunan (Arswendy Bening). Kakak Bima bernama Dewi (diperankan oleh Rachel Amanda, artis cilik pada masanya), yang di sini digambarkan mau menikah. Sedangkan Dara, adalah anak dari keluarga menengah ke atas, papanya (Dwi Sasono) punya usaha kuliner, sedangkan mamanya (Lulu Tobing) adalah seorang wanita karir. Dara punya anak yang hobi main ukulele namanya Puput (diperankan oleh Maisha Kanna, yang menjadi Samudra Biru di Kulari ke Pantai).

Dara sering mengajak Bima main ke rumah. Dan pada suatu hari, mereka kebablasan melakukan hubungan seksual di kamar Dara. Dara pun akhirnya hamil. Muncullah kebingungan di antara mereka berdua.

Sejujurnya buat saya, bagian awal film ini memang terkesan menunjukkan kedekatan yang sedikit berlebihan untuk pasangan anak SMA. Tenang, kalau mau lihat adegan ena-ena sama sekali ga ada kok di sini. Tapi setelahnya, film ini menunjukkan konflik-konflik dengan berbagai makna dan pesan yang tersirat.

Pentingnya Sex Education

Selama ini kita merasa tabu atau risih mendengar kata “seks”. Apalagi untuk anak usia sekolah, membicarakan seks akan dicap sebagai anak nakal.

Sebentar, yang perempuan tahu ga sih kalau lubang tempat keluarnya darah menstruasi (sebut saja vagina, mari kita mulai menyebutnya dengan biasa saja) itu berbeda dengan lubang keluarnya kencing?.

Kalau masih banyak yang belum tahu, memang berarti sex education kita masih kurang. Seingat saya, pengetahuan tentang organ reproduksi dijelaskan terutama ketika SMA. Sex education bukan tentang bagaimana cara melakukan hubungan seksual atau mungkin gaya-gaya yang bisa dilakukan. Pendidikan seksual juga harus menjelaskan akibat terjadinya hubungan seksual, terutama hubungan seksual yang bertanggung jawab termasuk kehamilan di usia muda.

Film Dua Garis Biru mencoba menjelaskan pentingnya sex education, yang tidak hanya menjadi tanggung jawab guru di sekolah, tetapi juga tanggung jawab orang tua. Seks di usia muda akan memberikan efek berantai bagi mereka yang melakukannya, orang tua masing-masing bahkan bagi calon bayinya nanti. Kehamilan di usia yang sangat muda berpeluang mengakibatkan terjadinya aborsi, kematian ibu dan/atau kematian bayi. Salah satu tujuan Gina S. Noer dalam film ini adalah mengurangi adanya aborsi dan ikut membantu menurunkan Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Ibu karena kasus kehamilan muda di luar nikah ini.

Penjelasan-penjelasan tersebut digambarkan di film Dua Garis Biru ini dalam bentuk percakapan-percakapan yang terkesan nyata, tidak sekadar ala dramatis di sinetron. Adegan panjang di UKS, menggambarkan seberapa sakitnya hati masing-masing orang tua ketika mengetahui anaknya melakukan sebuah kesalahan yang berakibat fatal. Adegan di depan dokter kandungan, yang menggambarkan bahwa hamil usia muda itu resikonya banyak, tidak hanya sekadar hamil seperti perempuan pada umumnya.

Nikah Muda Itu…..

“Nikah muda itu enak”, begitu yang sering kita dengar dari cerita banyak orang dan dari beberapa kutipan akun media sosial. Tapi, nikah di usia sekolah apakah seenak yang dibayangkan? Saya jadi ingat salah satu video singkat yang dibuat oleh salah satu SKPD di Kab. Gunungkidul, yang judulnya RABI. Bercerita tentang anak usia SMP yang putus sekolah karena diajak pacar yang baru dikenalnya menikah. Hidupnya enak setelahnya? Tonton aja sendiri ya.

Pemerintah memang membatasi usia pernikahan minimal, hal ini tercantum dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Bahkan Tuan Guru Bajang (TGB), Gubernur NTB 2008 – 2018, di masa pemerintahannya pernah mengeluarkan Surat Edaran tentang Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang merekomendasikan usia perkawinan untuk laki-laki dan perempuan minimal 21 tahun. Hal ini dilakukan karena angka pernikahan muda yang tinggi di daerah tersebut diyakini menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya tingkat kemiskinan di daerah tersebut.

Dalam Islam pun, pernikahan mensyaratkan kedua mempelai dalam kondisi baligh, yang biasanya hanya diartikan sudah menstruasi bagi perempuan dan sudah pernah mengalami “mimpi basah” bagi laki-laki. Itu memang kondisi baligh secara fisik, tapi belum tentu baligh secara mental.

Kondisi nikah muda yang seperti ini yang ingin digambarkan di film Dua Garis Biru ini. Kedewasaan Bima dan Dara diuji setelah mereka menikah. Bima harus kerja donk, untuk menunjukkan janji tanggung jawabnya kepada Dara. Bima juga tetap harus sekolah, sedangkan Dara dikeluarkan dari sekolah. Terkesan tidak adil ya, tapi begitulah adanya kenyataan selama ini jika ada siswa yang hamil.

Apakah Bima langsung bisa dewasa setelah menikah? Oh tentu tidak. Kebayang ga sih usia 17 tahun sudah harus mikir keluarga? Usia muda yang emosinya masih labil. Wong yang 20-an akhir aja gini kadang masih suka susah kalau ngatur emosi.

Tidak ada yang salah dengan nikah di usia muda. Asal bisa komitmen dan terima konsekuensinya. Resepsi pernikahan cuma sehari, tapi kehidupan perkawinan itu harapannya bisa seumur hidup.

Jadi Orang Tua itu Bukan Hal Mudah

Jadi orang tua itu bukan cuman hamil 9 bulan 10 hari, itu pekerjaan seumur hidup

Ibu Dara, Dua Garis Biru

Kutipan di atas tidak hanya menjadi sekadar kalimat yang diucapkan di Dua Garis Biru. Tapi benar-benar akan ditunjukkan di film ini. Jadi orang tua bukan hanya sekadar memberi materi, tetapi juga perhatian. Film ini akan membuat kita kangen sama orang tua. Kangen ngobrol dari hati ke hati.

Obrolan antara ibu dan anak serta bapak dan anak di film ini sungguh berkesan banget semuanya. Bikin mikir, kalau jadi orang tua nanti apa aku bisa seideal itu? Menjadi orang tua yang baik memang ga gampang, tapi mungkin waktunya sekarang tahu dulu bagaimana menjadi orang tua yang baik buat anak-anak nanti.

Secara keseluruhan, film ini itu layak masuk box office Indonesia. Kejadian-kejadiannya riil banget, bukan dramatis ala sinetron. Bukan hanya tentang cinta-cintaan, tapi tentang keluarga, hidup dan masa depan. Sungguh sangat direkomendasikan untuk nonton. Ajak pasangan bila perlu, biar bisa jadi bahan diskusi bareng. Untuk anak-anak, film ini hanya diperbolehkan untuk 13 tahun ke atas, karena meskipun tidak ada adegan ena-ena-nya, ada baiknya memang yang belum bisa berpikir secara matang jangan dulu nonton film ini. Lha wong yang usianya dewasa tapi sudah berprasangka buruk padahal baru nonton trailer-nya juga banyak kok.

Siap-siap tisu deh pokoknya. Buat yang lagi kangen, lagi sendu, lagi patah hati, lagi ingin merelakan, soundtrack-nya akan membuat kalian lebih teriris. Salah satunya adalah lagu Sulung – Kunto Aji.

Cukuplah ikatanmu
Relakanlah yang seharusnya untukmu

Sulung, Kunto Aji
Playlist OST Dua Garis Biru

Oh iya, kenapa Dua Garis Biru kok bukan Dua Garis Merah? Padahal kan test pack itu garisnya warna merah. Makanya tonton aja, dan itu pentingnya sex education.

Advertisement

2 responses to ““Dua Garis Biru”, Bukan Film Biru”

  1. Gak sabar pengen sendu sembab di bioskop

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Blog at WordPress.com.

%d bloggers like this: