Pernikahan dan Kolaborasi (Review Film Kim Ji Young dan Marriage Story)

Akhir tahun 2019 ini, saya menonton dua film yang memberi banyak insight tentang kehidupan pernikahan bagi perempuan. Bagi perempuan lajang yang sedang memantapkan diri untuk menikah seperti saya, dua film ini membuat saya membuka mata tentang pernikahan. Lagi-lagi, wedding is one day, marriage is a journey.

Jika di negeri +62 kita selalu melihat pertikaian warganet tentang ibu bekerja vs ibu rumah tangga, dua film yang berasal luar negeri ini menceritakan bahwa hidup perempuan dalam pernikahan bukan hanya tentang memilih dua hal tersebut.

Film yang pertama adalah film dari Korea. Saya sangat jarang menonton film Korea, tapi film berjudul Kim Ji Young ini berhasil membuat saya rela menontonnya di bioskop.

Film kedua, film barat yang tayang di Netflix, judulnya Marriage Story. Jangan membayangkan cerita pernikahan yang happily ever after seperti di dongeng, tapi siapkan hati dan mental gaes.

Kim Ji Young : Born 1982, Ibu Depresi di Keluarga yang Terlihat Sempurna

Ji Young, perempuan menikah dengan seorang anak perempuan yang lucu-lucunya. Rutinitasnya setiap pagi adalah menyiapkan sarapan untuk suami dan anaknya, mengantar anaknya ke day care dan beberes rumah. Sesekali Ji Young akan mengajak anaknya ke taman, sambil minum kopi yang dibelinya di sebuah kafe. Hidup Ji Young kurang apalagi?

Suami Ji Young, sudah terlihat sempurna, termasuk mau membantu memandikan anak perempuannya sepulang kerja. Terkesan sudah setara dan saling berbagi tugas dalam keluarga. Lalu, apa yang kurang dari keluarga ini?

Setelah melakukan aktivitasnya seharian, Ji Young merasa ada yang kosong ketika matahari terbenam. Suami Ji Young, pernah beberapa kali melihat Ji Young tiba-tiba berubah menjadi orang lain. Bukan berubah menjadi Power Rangers ataupun Wonder Woman ya, tetapi Ji Young tiba-tiba berbicara menjadi orang lain, terkesan seperti kerasukan.

Di balik semua kesempurnaan yang terlihat, ternyata Ji Young depresi. Sebelum menikah, Ji Young punya karir yang cukup bagus. Meskipun karir itu stagnan karena dia perempuan. Menikah membuatnya punya rutinitas yang itu-itu saja. Jadi, menikah itu salah? Ternyata, depresi Ji Young bukan hanya karena rutinitas saja. Di masa lalu, Ji Young merasa dibanding-bandingkan dengan saudara laki-lakinya. Jadi, depresi Ji Young adalah akumulasi dari masalah-masalah yang dipendamnya sejak kecil.

Bagaimana selanjutnya hidup Kim Ji Young? Tonton sendiri aja ya.

Penyakit kejiwaan seperti depresi, memang kadang tidak disadari oleh penderitanya. Jika merasapun, penderita kadang menyangkalnya “aku tidak gila”. Menyuruh penderita depresi ke psikiater hanya bisa dilakukan jika penderita dengan ikhlas menerima dirinya bahwa sedang mengalami depresi.

Depresi yang dialami Ji Young mungkin juga bisa terjadi pada perempuan lainnya. Dalam kehidupan sosial sekarang ini, kita banyak dituntut oleh lingkungan ataupun kata orang, yang kadang membuat kita sendiri lupa dengan apa yang membuat kita sendiri bahagia. Jadi perempuan harus A, jadi perempuan harus B, dsb dsb.

Beruntung Kim Ji Young memiliki suami yang bisa berkolaborasi bersama dalam pekerjaan rumah tangga dan menjadi orang yang paling pertama menyadari bahwa istrinya mengalami masalah kejiwaan. Bukan malah meninggalkan dan mengabaikan depresi istrinya, suami Ji Young lah yang menyarankan Ji Young untuk ke psikiater bahkan menawarkan untuk cuti di luar tanggungan demi Ji Young.

Satu hal lainnya yang menarik dari film ini, jangan sembarang men-judge orang lain yang baru kita kenal atau bahkan padahal baru kita lihat. Pesan itu yang ingin disampaikan pada adegan marahnya Kim Ji Young ketika ada orang yang tidak dikenalnya menggunjingnya dari belakang waktu dia menumpahkan kopi di kafe. Orang-orang tersebut menyebut Kim Ji Young terlalu enak hidupnya, bisa setiap hari ngopi di kafe dengan jatah dari gaji suaminya, tanpa mereka tahu bagaimana perjuangan Ji Young setiap hari mengurusi anak dan suami serta depresi yang dihadapinya.

Marriage Story, Perempuan juga Butuh Dianggap dan Dihargai

Secara umum, film yang tayang di Netflix ini bercerita tentang Nicole dan Charlie yang memutuskan bercerai dan bagaimana perjalannya selama mengurusi perceraian mereka. Film ini bukan tentang bagaimana pasangan ini bertemu, menikah, punya anak dan hidup bahagia selamanya seperti yang banyak kita bayangkan ketika mendengar kata “pernikahan”.

Saya ingin mencoba membahasnya kenapa pasangan ini akhirnya memutuskan bercerai. Masalah antara keduanya bukanlah tentang orang ketiga atau finansial yang marak terjadi belakangan.

Nicole, sebelumnya adalah aktris di Los Angeles. Setelah menikah dengan Charlie, Nicole ikut ke New York dan membantu Charlie dalam karirnya sebagai sutradara teater di New York. Sepuluh tahun menikah dan punya anak, Nicole merasa ada yang kurang dari hidupnya.

Nicole merasa banyak membantu Charlie dalam memberikan ide-ide baru untuk teaternya. Tetapi semua keberhasilan Charlie di teaternya dianggap sebagai usaha Charlie saja, bukan usaha Charlie dan Nicole. Nicole merasa usahanya kurang dianggap dan dihargai.

Nicole merasa ada yang hilang dari dirinya setelah menikah dengan Charlie. Semuanya tentang Charlie, mulai dari keputusan sampai perabotan rumah tangga. Nicole merasa Charlie tidak ikut mengajaknya dalam mengambil keputusan rumah tangga, bahkan meminta pendapatnya pun tidak.

Sebagai sebuah individu terpisah, Nicole sebagaimana perempuan lainnya juga punya keinginan, harapan ataupun mimpi dalam hidupnya. Seringkali, pasangan masih belum mengerti atau kadang masih egois dengan menganggap bahwa semua keputusan ada di tangan suami tanpa memperhatikan masukan atau keinginan perempuan.

Kedua film ini, membuat saya memandang pernikahan sebagai sebuah usaha kolaboratif, bukan usaha untuk memenangkan ego pribadi masing-masing.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Blog at WordPress.com.

%d bloggers like this: