Kenapa sekarang suka traveling? Kayaknya salah satunya dulu sewaktu kecil keluarga sering ngajak jalan-jalan juga, meskipun ya ga jauh-jauh amat sampai keliling Indonesia. Kalau dulu mungkin lebih dikenal dengan kata “rekreasi”. Sewaktu saya masih SD, sering banget ikut rekreasi sekolahnya Bapak, sekolahnya Pak Puh ataupun rekreasi yang diselenggarakan oleh Kantor Desa (kebetulan Mbah Kung dulu adalah Pak Carik). Paling masih sekitaran Yogyakarta aja sih, Borobudur dan Parangtritis.
Kalau pas lagi ada tambahan rezeki, kadang memang sekeluarga jalan-jalan ke tempat wisata yang dekat rumah. Misal Sarangan, Tawangmangu, Waduk Gajah Mungkur, Pacitan dan beberapa wisata lain. Waktu SD, mungkin anggota keluarga besar kami (yang dari Ibuk) masih sekitar 10an orang, biasanya naik mobil yang isinya agak overload. Yang dewasa dapat tempat duduk, yang kecil-kecil dipangku. Nanti kalau nemu lokasi yang agak lapang, trus bekalnya dari rumah di makan bareng deh sambil gelar tikar. The Real Picnic.
Setelah merantau mulai SMP, udah agak jarang sih sebenarnya rekreasi bareng-bareng sekeluarga besar. Apalagi akhir-akhir ini karena masing-masing putrinya Mbah Kung sudah bertambah anggota keluarganya, biasanya rekreasinya sendiri-sendiri.
Karena pingin nyenengin Mbah Kung dan Mbok Dok, kami cucu-cucunya berniat mengajak keluarga besar untuk Family Trip. Karena kondisi Mbah Kung dan Mbok Dok yang sudah berumur, wisatanya pun ga jauh-jauh amat, ke daerah kulon omah yaitu Karanganyar, Jawa Tengah. Yaps, karena kebetulan rumah saya memang di daerah perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Seminggu sebelum family trip, grup Whatsapp keluarga udah rame aja menyusun acara. Bahkan sampai H-1 masih rame.
Dan akhirnya hari itu tiba, lebih tepatnya tanggal 28 Februari lalu. Cucu-cucu Dayat’s Family (Mbah Kung namanya Dayat) yang jumlahnya 9 orang ternyata tidak semuanya bisa ikut, karena salah satunya yaitu Dek Alfan kuliah di Jombang dan ga bisa pulang. Orangtuanya Alfan, pun ga bisa ikut. Ada tambahan juga dibanding trip beberapa tahun sebelumnya, ada cucu menantu dan buyut dari cucu pertama Mbah Kung. (Tinggal nunggu cucu menantu dari cucu kedua nih, eeeaaa, jreng). Tambahan lagi ada sepupuku dari Bapak yang kebetulan juga diajak oleh Ibuk.
3 rombongan mobil pun berangkat menuju Karanganyar. Meeting point kami yang pertama di rumah Buk Indah di daerah Genilangit, Poncol (btw, semua saudara Ibuk kami panggil Buk, bukan Bulik, Bu Dhe, Tante apalagi Aunty). Dari Poncol kamipun berangkat ke Karanganyar melewati Sarangan dan jalan tembus Sarangan – Tawangmangu. Medan jalan tembus ini cukup landai dibandingkan dengan jalan Sarangan – Tawangmangu beberapa tahun sebelumnya yang masih cukup menanjak.
Sampai di Cemoro Kandang, kamipun berhenti sejenak karena rombongan Buk Dati (Kakaknya Ibuk) ketinggalan di belakang. Oh iya kalau yang belum tau, Cemoro Kandang ini merupakan salah satu gerbang masuk pendakian Gunung Lawu, selain Cemoro Sewu. Di sekitar Cemoro Kandang ini juga banyak warung makanan.

Setelah rombongan Buk Dati sampai, kamipun meluncur ke Candi Cetho, tujuan pertama kami. Candi Cetho ini terletak di Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar. Untuk menuju Candi Centho kami melewati Perkebunan Teh Kemuning. Medannya pun lumayan naik, apalagi setelah perkebunan teh. Mobil yang digunakan rombongan Buk Dati pun sempat tidak kuat naik. Tapi, pemandangannya amazing, rasanya seperti di atas awan.
Sampai di area parkir Candi Cetho, kami pun memutuskan untuk sarapan dulu sebelum berkeliling dan naik ke Candi Cetho, mengisi tenaga. Menggelar tikar di dekat parkiran, di depan rumah warga, kami pun menikmati bekal yang kami bawa. Sederhana, masakan orang kampung, mulai dari urap, tempe goreng, sambel goreng kentang, tumis kangkung, bothok, rica-rica ayam dan menthok. Syurrrgaaaa. Ngomong-ngomong, pemandangan di area parkir pun juga keren.


Selesai membeli karcis, untuk masuk ke Candi Cetho kami harus menggunakan kain batik yang kami gunakan seperti sarung, sebagai tanda menghormati Candi Cetho sebagai tempat ibadah agama Hindu. Pengunjung akan dibantu beberapa petugas untuk menggunakan kain tersebut. Nah Mbah Kung pun berulah, minta dibantu pake kainnya sama Mbak-mbak. Duh.. Tiket masuk ke Candi Cetho untuk pengunjung domestik hanya Rp 7,000/orang bandingkan sama Borobudur yng Rp 30,000. Hehehehe.
Untuk masuk ke Candi Cetho, kita harus menaiki anak tangga yang curam. Intinya kalau main ke Candi Cetho harus kuat fisik, serasa naik bukit. Sayangnya di Candi Cetho ini tidak ada guide yang bisa menceritakan detail tentang Candi Cetho. Setidaknya sih saya tidak ditawari guide di sana, ga tau kalau memang ada kalau ada yang tanya. Sekilas gerbang Candi Cetho akan terlihat seperti Gapura Bentar yang biasanya ada di Bali. Setelah coba mencari informasi, ternyata memang sewaktu pemugaran, beberapa bagian candi ditambahi nuansa Hindu Bali.

Untuk mencapai puncak Candi Cetho, kita juga harus melewati tangga beberapa kali. Saya tidak sempat menghitung sih. Hehehehehe. Di salah satu bagian kita akan menemukan sebuah lapangan kecil, dengan batu-batu di tengahnya. Sekilas kalau dilihat batu ini seperti simbol phallus (penis, red). Dari kawasan dalam Candi ini, kita serasa berada di kerajaan di kayangan, dengan awan putih yang terlihat berada di sekeliling kita. Untung pagi itu cerah.

Sebelum mencapai puncak, kita bisa melihat beberapa rumah-rumah kecil dari kayu. Lumayan nih buat tempat foto-foto ala vintage. Ketika capai di Puncak Candi Cetho kita akan melihat stupa mirip trapesium.
Tidak hanya sampai di situ, selain Candi Cetho, di kawasan wisata ini kita bisa melihat Puri Taman Saraswati, Sendang Pundi Sari dan Candi Kethek. Puri Taman Saraswati dan Sendang Pundi Sari berada di satu kawasan sekitar naik 300 meter dari Candi Cetho. Sedangkan Candi Kethek cukup jauh. Nah kalau Puri Taman Saraswati sendiri bukanlah peninggalan sejarah seperti Candi Cetho. Di taman ini terdapat patung Dewi Saraswati yang ternyata sumbangan dari Bali ketika Candi Cetho dipugar. Di sebelah taman, terdapat Sendang Pundi Asri. Layaknya tempat ibadah Hindu, di dalam sendang terdapat dupa. Dan serius, air sendangnya dingin banget. Oh iya, wanita yang sedang berhalangan, dilarang untuk memasuki kawasan Puri Taman Saraswati ini.



Tidak selesai di Candi Cetho, ketika perjalanan kembali dari Candi Cetho, kami pun mampir di perkebunan teh untuk sekedar foto-foto. Ternyata semua suka foto-foto, termasuk Bapak Ibuk. Hahahahaha.
Perjalanan pun kami lanjutkan ke daerah Matesih, lebih tepatnya ke daerah Astana Giribangun. Astana Giribangun merupakan kawasan makam keluarga Presiden RI kedua, Soeharto. Kalau dihitung, bersama keluarga besar saya sudah 3 kali ke tempat ini. Pertama setelah Ibu Tien meninggal, kedua setelah Pak Harto meninggal dan ketiga pas hari Minggu kemarin. Bahkan kami masih punya foto kunjungan pertama dan kedua di lokasi foto yang sama dan orang yang sama. Cuma bedanya di foto pertama mungkin saya masih SD, di foto yang kedua saya sudah kuliah.
Sebenarnya saya bukan pendukung Orde Baru, tapi tidak ada salahnya kan ziarah sambil belajar sejarah. Jadi ternyata, kawasan Astana Giribangun ini dulunya adalah milik Perhutani. Namun, sudah terjadi tukar guling tanah antara keluarga Soeharto dengan pihak Perhutani. Tanah Perhutani di kawasan Matesih ini ditukar dengan tanah milik keluarga Soeharto di Wonogiri. (wuikkks, kayaknya tanahnya Bapak ini banyak juga ya). Informasi ini bisa dilihat pada sebuah tulisan di marmer yang ada kawasan makam.
Makam Soeharto berada di dalam sebuah ruangan besar yang bernama Cungkup Argosari. Di dalam cungkup ini terdapat lima buah makam, yaitu makan Bu Tien, Pak Harto, kedua orangtua Bu Tien dan Siti Hartini (kakak Bu Tien. Oh iya, kalau di dalam Cungkup Argosari tertulis pengumuman tidak boleh memotret, tetapi ada beberapa pengunjung yang memotret sewaktu kami sedang membaca tahlil (Ih kamu Nes, baca tahlil masih tengak tengok). Meskipun pengunjung dilarang memotret, tetapi ternyata fotografer khusus Astana Giribangun diperbolehkan mengambil foto. Hasil foto bisa diambil dengan harga Rp 15.000 – Rp 20.000 per lembar. Di tempat pengambilan kita bisa melihat jejeran laptop dan printer. Tapi sayangnya kualitas cetakannya tidak terlalu bagus.
Di luar Cungkup Argosari, terdapat beberapa makam keluarga besar Soeharto. Beberapa merupakan makam yang memang dimakamkan di situ sejak awal, beberapa merupakan makan pindahan dari makan keluarga di tempat lain. Kawasan Astana Giribangun ini ternyata tidak jauh dengan Astana Mangadeg, kawasan makan keluarga besar Kerajaan Mangkunegaran. Ternyata memang Bu Tien yang bernama asli Raden Ajeng Siti Hartinah merupakan canggah (cucunya cucu) dari Mangkunegaran III.

Selesai dari Astana Giribangun kamipun kembali ke Magetan. Cukup singkat, cukup dekat, tapi setidaknya kami bisa berkumpul hari itu.

Leave a Reply