Ramadhan dan Lebaran 2020 : Krisis vs Tradisi

Saya gemas membaca berita tentang berjubelnya pembeli di pusat perbelanjaan di beberapa daerah di masa pandemi Covid-19 ini. Banyak orang memenuhi toko pakaian, untuk membeli baju lebaran. Keramaian ini dikhawatirkan menimbulkan gelombang kedua penyebaran virus Corona di Indonesia. Gelombang satu aja belum kelar woiiii.

Di awal Ramadhan, saya menduga Ramadhan tahun ini akan jauh berbeda. Memang di awal, pusat perbelanjaan banyak yang tutup baik karena PSBB maupun kebijakan masing-masing daerah. Tapi ternyata, menjelang lebaran, beberapa pusat perbelanjaan di beberapa daerah dibuka dan dijubeli oleh pengunjung. Physical distancing apaan. Virus Corona mungkin sedang tersenyum pongah sambil merencanakan strategi untuk pesta karena menemukan banyak inang di kerumunan tersebut. Mulai dari Ramayana di Gresik sampai toko pakaian di Mataram dam Lombok Timur. Belum lagi daerah-daerah lainnya.

Seberapa penting sih sebenarnya baju lebaran dibandingkan keselamatan diri dan keluarga serta keselamatan kondisi keuangan semasa pandemi ini? Banyak yang mengeluh penghasilan berkurang, tapi pengeluaran gaya hidup seperti baju lebaran tetap aja diturutin. Bukankah sebaiknya uang yang ada disiapkan untuk kebutuhan primer di masa pandemi yang masih belum tahu kapan akan berakhir ini?

Tradisi dalam Lebaran

Sebagai sebuah negara dengan suku dan budaya yang beragam, Indonesia memiliki tradisi yang beragam pula. Mudik pun juga bukan sebuah kewajiban dalam Islam, mudik merupakan tradisi di Indonesia karena luas dan tersebarnya wilayah Indonesia dalam beberapa pulau.

Salah satu tradisi yang bisa dibilang bersifat nasional adalah membeli baju lebaran. Membeli baju lebaran seakan menjadi tradisi yang tidak boleh dilewatkan menjelang Lebaran. Ga ada baju baru lebarannya kurang greget, ga bisa unggah foto terbaru di media sosial. Pada kondisi normal, pusat perbelanjaan akan dipenuhi konsumen, mulai dari pasar tradisional sampai mall mewah. Diskon Lebaran pun dikeluarkan untuk lebih menarik minat masyarakat. Tidak jarang di masa akhir-akhir Ramadhan, pusat perbelanjaan lebih ramai daripada di masjid atau mushola. Sekali lagi ini dalam kondisi normal lho ya. Pokoknya semua tempat belanja seperti cendol dawet kalau menjelang Lebaran.

Sejak mulai ramainya belanja online baik melalui e-commerce maupun media sosial, tidak sedikit juga yang beralih belanja baju Lebaran melalui sistem online ini. Bagi saya sendiri, yang mempunyai ukuran tubuh tidak seideal para model dan sedikit perfeksionis, belanja baju online jarang saya lakukan, saya lebih suka beli baju di toko langsung, lebih marem. Saya yakin tidak sedikit orang yang seperti saya, ujung-ujungnya baliknya ke toko.

Tradisi lain yang biasanya dilakukan di masa menjelang Lebaran maupun pas Lebaran adalah berbagi dengan keluarga, teman dekat ataupun kolega, bisa dalam bentuk bahan makanan, makanan jadi ataupun uang. Kalau uang biasanya untuk anak-anak, pecahan kecil di amplop, mirip angpao kalau di Imlek. Bahan makanan mulai dari dalam bentuk paket sembako sampai hampers kekinian. Tidak hanya kalangan menengah ke atas tapi juga kalangan bawah. Niatnya baik, berbagi.

Belum lagi tradisi-tradisi lain yang mungkin saja berbeda di setiap daerah di Indonesia.

Lebaran di Masa Krisis

Pada kondisi normal, waktu Ramadhan dan Lebaran, konsumsi masyarakat Indonesia cenderung naik. Tidak jarang, pada masa ini inflasi Indonesia naik. Pengeluaran tahunan banyak dikeluarkan di masa ini, mulai untuk mudik, beli baju lebaran, mengirim hantaran sampai memberi angpao ke saudara yang anak-anak. Lebaran di Indonesia adalah pesta tahunan, tidak hanya bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang beragama Islam, tetapi juga pemeluk agama lain.

Apakah pengeluaran itu berubah di masa krisis karena pandemi Covid-19 ini? Sepertinya tidak semuanya berubah. Buktinya kita masih bisa melihat berjubelnya banyak toko pakaian tanpa mengindahkan protokol physical distancing pencegahan Covid-19.

Apakah melestarikan tradisi itu salah? Tentu saja bukan begitu maksudnya. Di saat sebagian besar masyarakat mengalami penurunan pendapatan karena krisis ini, bukankah lebih baik pengeluaran juga ditekan. Kita tidak tahu krisis ini akan berlangsung sampai kapan, menyiapkan dana darurat setidaknya lebih penting dibandingkan membeli baju lebaran.

Baca Juga : Ramadan yang Dinantikan, Lebaran yang Ditakutkan

Anak-anak kan butuh baju lebaran, biasanya kan tiap tahun mereka pakai baju baru? Bapak Ibu, sebagai orang tua Anda seharusnya memberi contoh yang baik untuk anak Anda. Perilaku keuangan Anda sekarang bisa jadi akan menjadi contoh bagi anak Anda di masa depan. Jika Anda terus-terusan memberi mereka baju baru di masa lebaran, bisa saja ke depannya mereka akan menganggap bahwa baju lebaran itu adalah hal wajib di masa lebaran. Mungkin Anda ajak anak Anda mendengarkan lagu dari Dhea Ananda yang pernah terkenal di era 90-an.

Baju baru, alhamdulillah

Tuk dipakai di hari raya

Tak punyapun tak apa-apa

Masih ada baju yang lama

Baju Baru – Dhea Ananda

Apakah berbagi itu salah, kan dapat pahala? Iya benar sekali berbagi dapat pahala, tapi apakah kita harus memaksa berbagi jika kita sendiri tidak punya uang untuk hidup di masa pandemi ini. Berbagi pun juga baiknya ke orang-orang yang benar-benar membutuhkan, bukan kepada mereka yang sudah punya banyak, terus dikirimin paket sembako. Iya, itu baik niatnya, tapi jangan lupa kasihani diri sendiri. Kalau tidak punya jangan memaksa, kalau tidak punya jangan memaksa berhutang demi gengsi berbagi kepada orang lain.

Baca Juga : Ramadhan dan Lebaran di Masa Krisis, Saat Tepat Mengatur Keuangan dari Awal

Lebaran di masa krisis ini seharusnya membuat kita lebih sadar bahwa lebaran bukan hanya sekadar pesta baju baru, bukan hanya sekadar memberi kepada keluarga lain. Lebaran di masa krisis ini bisa menjadi masa merenung bahwa sebenarnya kita masih bisa berlebaran tanpa mengeluarkan banyak uang yang berlebihan.

Satu hal yang miris, dari sebagian orang yang berteriak-teriak protes minta bantuan dari pemerintah, adalah mereka yang berjubel di toko pakaian, menantang bahaya demi tradisi baju lebaran. Benar katanya “Tunggu saja klaster baju lebaran”.

2 responses to “Ramadhan dan Lebaran 2020 : Krisis vs Tradisi”

  1. Sudah 2x Ramadhan, Covid19 belum sirna.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s