“Karir sedang terlihat bagus, kerjaan enak bisa jalan-jalan, kok resign sih?“
“Kamu abis resign terus kena pandemi kok tenang-tenang aja sih?”.
Itulah beberapa contoh pertanyaan yang dilontarkan kepada saya, setelah saya memutuskan untuk resign sekitar 1,5 tahun lalu.
Resign, sebuah kata yang biasanya akan terpikirkan setelah bekerja selama beberapa bulan dan merasa pekerjaan kurang sesuai passion, pekerjaan berat, budaya perusahaan yang tidak sesuai, mau nikah dan urus anak serta berbagai alasan lain. Namun seringkali, kata “resign” akan hanya menjadi sekedar wacana atau guyonan bersama teman sekantor ketika makan siang. Bahkan, ketika ada teman kantor yang resign, ucapan yang terlontar adalah “Doa’in nyusul ya”, “Congraduation”. Resign sepertinya adalah sebuah pencapaian yang menyenangkan, resign seperti sebuah kelulusan. Seperti setelah lulus kuliah, lulus “resign” artinya juga menghadapi dunia yang baru.
Tapi tentu saja, sebuah pencapaian tidak selalu bisa mencapainya juga tidak mudah, perlu banyak pertimbangan dan persiapan. Memutuskan resign adalah sebuah keputusan yang berani. Beranjak dari zona nyaman, menuju zona baru yang kadang masih belum terbayang.
Kalau dihitung, sejak lulus di akhir 2011, saya sudah dua kali resign dari pekerjaan saya. Di pekerjaan pertama, saya resign setelah bekerja 1,5 tahun. Sedangkan di pekerjaan kedua, saya resign setelah bekerja hampir 7 tahun. Resign yang kedua yang menurut saya paling bisa memberikan banyak pengalaman dan pelajaran untuk diceritakan di sini.
Apa saja sih yang harus disiapkan ketika mulai memutuskan untuk resign?
Setelah Resign, Mau Bekerja Di Mana?
Ini yang perlu dipikirkan, jangan asal kepikiran resign tanpa berpikir setelah itu mau ngapain. Sebagian orang memang resign setelah mendapatkan pekerjaan baru. Ini resign paling aman, karena udah jelas mau kemana. Meskipun untuk mencapai dapat kerja dulu sebelum resign, butuh usaha juga buat proses rekrutmen di pekerjaan baru, yang kadang juga membuat kita sering izin dari pekerjaan yang lama. Tapi, semua memang butuh usaha kan. Resign karena udah punya kerjaan baru ini seperti pengalaman saya ketika resign dari pekerjaan pertama saya, karena dapat kerja di pekerjaan kedua.
Yang “aman” juga, bagi perempuan biasanya, setelah resign mau nikah dan urus anak. Nah ini udah jelas juga mau ngapain. Tapi kadang juga perlu dipikirkan, selama di rumah akan benar-benar full urus kerjaan rumah atau ada kerja sampingan juga. Buat orang yang terbiasa sibuk, dengan pekerjaan di kantor, lumayan merasa shock culture juga jika seharian full di rumah.
Nah, ada juga yang resign tapi belum ada kerjaan baru ataupun bukan untuk alasan menikah ataupun urus anak, seperti saya ketika resign dari pekerjaan kedua. Tapi saya sudah punya rencana atau gambaran ke depannya, seperti mulai melamar di beberapa pekerjaan sambil mengerjakan pekerjaan lepas sebagai freelancer.
Ada juga yang resign untuk memutuskan jadi enterpreneur. Ini juga perlu persiapan yang matang, karena menjadi enterpreneur tidak semudah apa yang diceritakan motivator. Dan tidak semua yang resign setelah itu harus banting setir jadi pengusaha. Tergantung keahlian masing-masing kan. Yang penting tetap punya jiwa kreatif, inovatif dan mau berkembang.
Boleh kok, sesekali istirahat sejenak karena lelah bekerja, sebelum mulai masuk ke dunia baru. Tapi jangan terlalu kebablasan dengan resign tanpa persiapan yang jelas.
Tulis Daftar Pertimbangan Resign
Terutama buat yang resign sebelum dapat pekerjaan baru, disarankan banget berpikir secara rasional ya. Tidak asal resign karena capek banget atau tidak sesuai passion. Boleh banget misal ditulis di kertas sambil dipikir-pikir ulang.
Kalau saya simpel banget, sebelum akhirnya benar-benar memutuskan resign, saya sempat menonton salah satu video di YouTube.
Video ini memberi pertimbangan untuk resign berdasarkan IKIGAI, salah satu filosofi hidup dari Jepang dan beberapa poin lainnya. Saya menonton video ini sambil merangkum poin-poinnya, menanyakan masing-masing poin itu kepada diri saya sendiri, sampai akhirnya saya memutuskan : OKAY, AKU RESIGN. Dan keesokan harinya, saya mengajukan surat pengunduran diri ke atasan. Apa saja sih poin-poinnya?
1. IKIGAI – Passion
Passion is what we enjoy the most, not something we’re good at
Rene Suhardono
Passion jadi alasan utama kepindahan saya dari pekerjaan pertama ke pekerjaan kedua. Di pekerjaan kedua, yang menurut saya sesuai passion, lama kelamaan saya kok juga capek ya. Kok saya juga diberi pekerjaan yang tidak sesuai passion saya.
Lulus kuliah, passion buat saya adalah hal yang sakklek, pokoknya sesuatu yang saya suka saat ini. Tapi ternyata setelah bekerja, definisi passion bagi saya mulai berubah. Passion bisa berkembang, seperti ilmu dan kemampuan saya yang juga terus ikut berkembang ketika bekerja. Apalagi di dunia yang semakin berkembang saat ini, kalau tidak ikut berkembang, kita akan semakin ketinggalan. Kunci bertahan di dunia kerja, memang tidak lelah belajar hal baru.
Tapi memang tidak semua hal baru bisa dengan mudah bisa kita pelajari. Tidak semua hal bisa menjadi passion kita meskipun kita sudah berusaha maksimal, tidak semua hal bisa kita sukai. Jadi, ketika ingin resign pertimbangkan apakah passion-mu akan berkembang atau kamu memang tidak bisa menyukai pekerjaanmu, setelah kamu mencoba berulang kali untuk menyukainya.
2. IKIGAI – Salary/Benefit
Tidak dipungkiri bahwa bekerja itu tujuannya juga untuk mendapatkan uang. Gaji dan benefit yang diberikan perusahaan bisa menjadi pertimbangan ketika memutuskan untuk resign.
Kalau perusahaan memberi gaji yang sepadan dengan pekerjaan, dan benefit minimal seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, boleh saja lanjut tetap kerja di situ. Gaji yang sepadan ini tentunya minimal UMR, bahkan bisa memberi kita kesempatan untuk menabung atau investasi setelah kebutuhan rutin terpenuhi. Gaji sepadan ini juga berkaitan dengan lama kerja dan prestasi kerja yang dihargai.
Kalau 5 tahun kerja masih stagnan dan tidak ada kenaikan gaji berarti, ya resign mungkin bisa jadi pilihan. Apalagi jika perusahaan tidak bisa memberi gaji sesuai dengan UMR yang ditetapkan.
3. IKIGAI – Expertise
Jika passion, artinya keahlian yang kita sukai, expertise atau keahlian ini berarti sesuatu yang kita bisa lakukan dengan sangat baik. Sama seperti passion, expertise ini juga bisa berkembang, keahlian kita bisa bertambah. Misalnya, di awal masuk kerja saya cuma bisa analisa data berupa angka. Seiring tugas di pekerjaan, saya mulai bisa menganalisa data kualitatif, membuat laporan dengan visualisasi yang bagus, bahkan mulai belajar tentang digital marketing. Tapi ketika pekerjaan tidak membuat expertise kita berkembang atau mungkin kita dihadapkan pada pekerjaan yang susah untuk kita lakukan, meskipun kita sudah berusaha maksimal, resign bisa jadi pilihan.
4. IKIGAI – Impact
Impact di sini bisa diartikan pekerjaan memberi manfaat buat kita sendiri, orang lain ataupun masyarakat sekitar. Seperti pepatah mengatakan :
Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain
Pekerjaan juga diharapkan memberikan manfaat bagi orang sekitar. Ini sebenarnya juga bergantung dengan tujuan hidup kita masing-masing sih. Kalau buat kita pekerjaan kita sudah cukup memberikan manfaat atau dampak, boleh lanjut. Kalau memang dampaknya ke orang lain atau publik, tidak seperti yang kita harapkan, resign bisa jadi pertimbangan.
5. Work Life Balance
Ini juga nih yang cukup jadi pertimbangan ketika resign. Kerja kerja kerja, seperti slogan Pak Jokowi boleh saja. Tetapi ada waktunya istirahat, bercengkerama dengan keluarga, ataupun bersantai memanjakan diri sendiri.
Jika pekerjaan terlalu menyita waktu dengan diri sendiri ataupun keluarga, misal sering pulang malam, bawa kerjaan ke rumah, bahkan tidak punya waktu bersantai di akhir pekan, resign bisa jadi pilihan kok. Ingat kesehatan fisik, dan juga kesehatan mentalmu.
Saya pernah menangis sambil misuh-misuh ketika mengendarai sepeda motor di perjalanan pulang kantor, malam-malam. Wkwkwkwkwk.
6. Job Satisfaction
Biar tidak ambigu dengan beberapa poin yang lain, job satisfaction di sini berkaitan dengan lingkungan kerja, hubungan dengan teman kerja dan kualitas pekerjaanmu. Kalau berada di lingkungan kerja yang terlalu toxic, kebanyakan politik kantor dan membuat tidak produktif, mempertimbangkan buat resign juga gak papa.
Kalau saya, mempertimbangkan kualitas atau kinerja hasil pekerjaan saya. Ada hubungannya dengan expertise dan passion sih. Sebagai orang yang perfeksionis, saya ingin pekerjaan saya sesuai standar minimal saya. Dengan begitu saya bisa lega dan puas. Saya sudah berusaha maksimal mengerjakan tugas baru, tetapi saya tidak merasa puas karena masih di bawah standar minimal saya. Meskipun berusaha maksimal tetap tidak puas. Di situ saya merasa job satisfaction saya rendah. Bukan kurang puas yang bikin pingin bekerja lebih keras, tapi kurang puas yang bikin capek.
7. Transportation
Ini teknikal banget sebenarnya, tetapi juga mempengaruhi kinerja dan kepuasan kerja, juga kesehatan. Transportasi, termasuk jarah tempuh ke tempat kerja dan jenis transportasinya. Apalagi di kota besar seperti Jabodetabek, di mana banyak sekali orang yang menghabiskan 3-4 jam untuk perjalanan pulang pergi kantor, belum lagi biaya yang dikeluarkan. Transportasi ini berhubungan dengan biaya dan lelah yang kita rasakan dalam transportasi, dan hubungannya dengan gaji yang kita dapatkan, sepadan atau tidak.
Setelah saya tulis daftarnya, saya pertimbangkan. Poin yang saya rasa memuaskan atau bagus saya beri tanda centang (v), dan poin yang tidak bagus atau tidak memuaskan saya beri tanda silang (x). Hasilnya, hanya 2 dari 7 poin yang mendapat tanda (v). Kelima hal yang bertanda silang (x) waktu itu cukup membuat saya burnout parah. Kelelahan yang rasanya tidak bisa saya sembuhkan hanya dengan cuti atau istirahat. Hal ini saya artikan : OKE, AKU RESIGN.
Lo Bisa START OVER Kapanpun, Jangan Takut Ambil Resiko
Cek Kondisi Finansial, Dana Darurat Udah Siap?
Ini juga yang perlu dicek sebelum memutuskan resign, apalagi untuk yang resign sebelum dapat pekerjaan baru, seperti saya. Cek dulu kondisi finansial, terutama dana darurat. Saya resign setelah total bekerja sebagai karyawan selama 8 tahun, jadi punya kesempatan untuk mengumpulkan dana darurat dan menabung. Kalau saya memutuskan resign tahun ke-3 bekerja mungkin saya tidak akan sepercaya diri ini untuk resign sebelum dapat pekerjaan lagi, bahkan langsung digoyang pandemi dan banting setir jadi freelancer.
Apalagi buat teman-teman yang sudah berkeluarga, atau punya tanggungan keluarga yang perlu dibiayai. Masalah kondisi finansial bisa jadi pertimbangan yang penting sebelum memutuskan resign.
TIPS FINANSIAL SEBELUM RESIGN ALA #MBAKMBAKCUAN
- Selama bekerja, usahakan bisa menyisihkan gaji untuk ditabung sebagai dana darurat. Kuncinya, gaya hidupnya jangan ugal-ugalan
- Jika selama bekerja ada kenaikan gaji, bukan berarti gaya hidupnya boleh jor-joran, nabungnya banyakin.
- Kalau misalkan dana darurat udah ada, mulai alokasikan gaji ke instrumen investasi lain, kalau bisa yang bisa kasih return bulanan atau 3-6 bulanan yang cukup buat minimal beli pulsa atau bayar tagihan streaming. Misal : ORI, SBR, Sukuk Ritel dsb atau P2P Lending.
- Kalau resign pas belum dapat kerjaan, mulai atur rencana pengeluaran dengan gaya hidup seminimal mungkin, biar gak terlalu menghabiskan dana darurat dalam waktu cepat.
- Kalau ada uang pisah atau pesangon, jangan lupa bisa dialokasikan buat investasi. Liburan boleh, jangan lupa tabungannya.
Resign memang sebuah keputusan besar, yang perlu dipertimbangkan dengan matang. Jadi, masih mau resign?
Leave a Reply