Solo sebenarnya bisa ditempuh sekitar 2 jam perjalanan dari rumah saya di Magetan. Bisa lewat Sarangan tembus Tawangmangu, atau juga bisa lewat daerah Wonogiri, Jawa Tengah. Memang kebetulan rumah saya berada dekat dengan perbatasan, dan Solo sebenarnya lebih dekat dibandingkan dengan Surabaya. Sampai lulus kuliah, seingat saya terakhir kali saya ke Solo sewaktu SD ikut Ibuk beli baju dan peralatan rias pengantin di Pasar Klewer. Waktu itu pagi-pagi kami diantar Bapak ke Purwantoro, Wonogiri untuk naik bis menuju Solo. Sorenya kami pun kembali dijemput di Purwantoro oleh Bapak.
Sejak lulus SD sampai akhirnya bekerja di Surabaya, saya memang sudah tidak pernah ke Solo lagi. Faktor anak kosan sejak SMP kayaknya bikin jarang jalan-jalan. Sampai akhirnya setelah bekerja, beberapa kali bisa mampir sebentar di Solo. Kalau dihitung sebelum trip saya ke Solo tanggal 5-8 Februari 2016 kemarin, kurang lebih 3 kali saya berkunjung singkat ke Solo. Pertama, sewaktu tugas kantor dari Salatiga, saya memutuskan kembali ke rumah dengan naik kereta ke Solo. Karena sekedar transit, saya hanya sempat mampir ke toko oleh-oleh di Jalan Kalilarangan. Kedua, sewaktu Pak Puh saya kebetulan habis operasi di salah satu RS di Solo, saya dan adek sempat menjenguk dan mencoba beberapa kuliner seperti Selat Solo Viens dan Serabi Notosuman. Lagi-lagi ini trip singkat, karena kami sampai di Solo Sabtu siang dan kembali ke Surabaya Minggu pagi. Ketiga, karena tuntutan pekerjaan juga saya sempat ada tugas interview ke Solo, lagi-lagi trip singkat, karena berbarengan dengan jadwal menjemput adek saya yang selesai liburan dari Pekanbaru dan pesawatnya turun Solo. Setidaknya di trip ketiga ini saya bisa menikmati Selat Solo Mbak Lies, jalan menuju keraton dan Bis Solo Trans.
Trip terakhir saya ke Solo awal Februari lalu sebenarnya bisa dibilang dadakan. Awalnya saya berencana mengikuti kegiatan Kelas Inspirasi Yogyakarta pada tanggal 6 Februari 2016, tapi ternyata saya tidak lolos. Hiks, sedih sih sebenarnya. Akhirnya bersama sahabat-sahabat kampus yang masuk dalam golongan Geng Tanpa Wacana merencanaka Trip ke Solo-Jogja, sekalian mencari teman kampus kami yang sudah lost contact sejak pindah ikut suaminya ke Solo. Karena beberapa pertimbangan, kami pun akhirnya mengubah trip ini menjadi Trip Solo saja.
Menjelang berangkat ke Solo, saya sempat mengalami drama karena hujan dan macetnya Surabaya di Jumat malam itu. Jumat sore saya pulang sekitar pukul 17.15 dari kantor dalam kondisi hujan deras. Karena tas ransel dan peralatan lainnya masih di kos, jadi mau tak mau saya harus kembali ke kos dulu. Pukul 17.30 saya sampai di kos, berganti baju dan menunggu magrib. Melihat hujan yang masih turun, saya pun memutuskan untuk naik taksi. Saya coba Uber, tapi hasilnya nihil. Saya coba kontak taksi langganan kantor, dan tidak ada hasil. Untunglah di depan kos ada taksi si biru yang barusan menurunkan penumpang. Pukul 18.00 saya pun berangkat ke Stasiun Gubeng, dengan asumsi masih banyak waktu untuk bisa naik kereta Mutiara Selatan pukul 19.00 yang sudah saya pesan. Tapi, ternyata pukul 18.25 saya masih stuck di perempatan Diponegoro menuju Jalan Kartini, tidak ada yang mau mengalah. Saya pun meminta sopir taksi menurunkan saya di Alfamart Diponegoro dan memesan Gojek. Pukul 18.30, Abang Gojek sudah mengontak saya dan memastikan lokasi penjemputan. Sekitar 18.35 Abang Gojek belum datang, saya sudah galau, pasrah dan hampir nangis. Bahkan saya sudah sempat kirim pesan ke teman saya yang kebetulan ke Yogya dan satu kereta dengan saya untuk meninggalkan saya, karena masih macet. Syukurlah, setelah itu Abang Gojek datang. Ditemani gerimis, Abang Gojek pun mengantar saya menembus kemacetan. Dan tepat 18.50 saya sampai di depan Stasiun Gubeng, memberi ongkos ke Abang Gojek dan lari menuju kereta. Alhamdulillah, akhirnya jadi berangkat ke Solo juga.
Sampai di Solo, saya menginap di Hotel Amarelo di Jalan Gatot Subroto, seberang Matahari Singosaren. Sudah booking beberapa hari sebelumnya, dan dapat harga yang cukup murah pula untuk skala hotel bintang tiga (versi Traveloka masuk bintang tiga sih). Untuk 3 malam menginap, saya dapat harga sekitar Rp 750,000 (sudah termasuk diskon 10% dan tidak termasuk breakfast). Dengan lokasi yang cukup dekat dengan lokasi kuliner dan beberapa pusat perbelanjaan, saya rasa harga tersebut sudah worth it lah.


Sebenarnya, Solo Trip yang kami rencanakan juga sekalian menemukan teman kami yang “hilang” tidak sepenuhnya berhasil. Setelah sampai Sukoharjo, kami menemukan rumah teman kami sedang terkunci. Memang sih kami niatnya membuat kejutan tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Meskipun tidak sepenuhnya misi berhasil, tapi Solo Trip kali ini cukup memuaskan saya menikmati budaya dan kuliner di kota Solo ini.
- Puro Mangkunegaran
Seperti Yogyakarta dengan Kasultanan dan Pakualamnya, Surakarta atau Solo juga punya Kasunanan dan Mangkunegaran. Keraton Solo yang biasa dikunjungi merupakan Keraton Kasunanan. Sedangkan pusat dari Mangkunegaran berada di Puro Mangkunegaran yang letaknya berada di Jl. Ronggowarsito, tidak jauh dari hotel tempat saya menginap.
Dibandingkan Keraton Kasunanan, menurut saya Puro Mangkunegaran jauh lebih menarik. Selain masih cenderung sepi pengunjung, dari luar bangunan Puro Mangkunegaran lebih cantik dibandingkan Keraton Kasunanan dari luar. Untuk masuk ke Puro Mangkunegaran, pengunjung dikenakan tarif Rp 10,000 per orang. Pengunjung tidak diperkenankan masuk tanpa guide lokal, karena kawasan Puro Mangkunegaran masih dihuni oleh raja dan keluarganya. Tarif guide lokal tidak dipatok, tetapi diberikan seikhlasnya.

Guide yang mendampingi kami bernama Bapak Purwanto, yang berasal dari daerah Wonogiri. Karena kami orangnya banyak ingin tahunya, Bapak ini pun menjelaskan berbagai sejarah dan kondisi di Puro dengan telaten.
Raja Mangkunegaran saat ini adalah Mangkunegara IX alias Raden Mas Soedjiwo Koesoemo. Beliau adalah ayah dari Paundrakarna, yang juga cucu dari Soekarno. Masih ingat Paundrakarna kan? Yang main di sinetron Galih dan Ratna. Refleks aja sih, mendengar nama Paundrakarna, saya sempat tanya ke Pak Purwanto, “Paundra sudah nikah atau belum ya Pak?” :). Dan jawabannya “Belum”. Paundra merupakan putra dari Sukmawati Soekarno Putri, yang sudah bercerai dengan Raja Mangkunegara IX sebelum beliau naik tahta. Raja pun menikah lagi dan istrinya yang sekarang yang menjadi ratu.

Bagian pertama dalam Puro Mangkunegara adalah pendopo. Memasuki pendopo, pengunjung diharapkan melepas alas kaki dan memasukkannya ke dalam kresek yang sudah disiapkan oleh guide. Lokasi dan bentuk bangunan di pendopo ini mempunyai beberapa filofosi khusus. Termasuk letak sebuah keramik segi empat yang kecil dibandingkan yang lain dan berada tepat di tengah-tengah pendopo dan lurus dengan air mancur di depan pendopo.
Naik ke dalam bagian Puro Mangkunegaran yang menjadi museum, pengunjung tidak diperkenankan untuk mengambil gambar sedikit pun. Ruangan tersebut merupakan singgasana raja dan secara filosofi digunakan raja untuk hablu minallah. Kalau pendopo tadi tempat raja untuk hablu minannas. Di dalam ruangan tersebut terdapat berbagai peninggalan dari Mangkunegaran mulai dari perhiasan emas, perabotan emas, uang zaman dahulu, beberapa lencana zaman dahulu sampai peta wilayah Mangkunegaran pada masa keemasannya.
Kawasan Puro Mangkunegaran ini dibuka sekitar pukul 08.00 pagi dan tutup pada pukul 14.00 di hari Senin-Sabtu dan pukul 13.00 pada hari Minggu. Jadi jangan sampai kesiangan ya. Yang suka wisata sejarah, Puro Mangkunegaran ini jadi tempat yang recommended untuk dikunjungi.
- Masjid Wustho
Di samping kawasan Puro Mangkunegaran, terdapat salah satu masjid yang unik. Lebih tepatnya di Jalan Kartini, bersebelahan dengan kawasan sekolah Muhammadiyah. Masjid ini terlihat unik dengan arsitekturnya. Di gerbang masjid, kita dapat melihat gerbang berbentuk seperti ujung kubah dengan tulisan arab.

Desain dalam masjid pun terkesan seperti desain beberapa masjid bersejarah lain dengan empat tiangnya. Di luar masjid kita bisa melihat menara, yang pada zaman dahulu digunakan sebagai tempat mengumandangkan adzan ketika waktu sholat sudah tiba.

Di salah satu sisi luar masjid terdapat prasasti marmer berbahasa Arab dan Jawa yang ditempel di tembok. Kebetulan waktu itu saya sempat mengambil gambar prasasti tersebut di bagian yang berbahasa Jawa. Saya sudah lama tidak membaca aksara Jawa. Tapi dari wikipedia saya mendapatkan bagaimana tulisan di prasasti tersebut.
“Sangkalan minangka pengetan.
Miwiti pasang tales :
Muji luhuring salira Nabi
(1807/1878 M)
Ngambai pasang tales :
(1847/1917 M)
Pambalaripun tuwin miwiti pasang tales manara
Pawisikan samadyaning praja
(1855/1924 M)

Tidak sekedar menikmati budaya, tapi sekalian menikmati khusuknya ibadah bersama penduduk asli Solo, masjid ini bisa menjadi pilihan. Eniwei, di masjid ini saya bertemu Ibu-ibu yang bilang mengenai tanggal akad nikah saya. Hmmm.. Wallahu a’lam. 🙂
- Festival Imlek
Saya beserta Geng Tanpa Wacana datang ke Solo kebetulan pas libur Imlek. Memperingati Imlek, kota Solo menyelenggarakan banyak acara, termasuk di antara pemasangan lampion di sepanjang jalan Pasar Gede. Kawasan Pasar Gede menjadi penuh pengunjung. Tidak sedikit yang membawa tongsis dan berfoto selfie dengan latar lampion yang berwarna merah. Keren memang.

Tidak hanya lampion yang sudah dipasang di sepanjang jalan, perayaan Imlek di Solo juga menerbangkan lampion seperti perayaan Waisak di Borobudur. Penerbangan lampion ini dipusatkan di lapangan Benteng Vastenburg atau di depan Bank Indonesia Solo. Panitia sebenarnya sudah menyiapkan ratusan lampion untuk diterbangkan. Namun, pengunjung bisa membeli lampion juga seharga Rp 20.000 per pcs.

Sayangnya pengaturan penerbangan lampion tidak serapi penerbangan lampion sewaktu di Borobudur. Mungkin didukung juga dengan kondisi lapangan yang sudah becek. Lampion pun tidak diterbangkan bersamaan. Sebanyak 2-3 orang memegang satu lampion, kemudian ada beberapa panitia yang ikut memasangkan parafin dan menyalakan api. Sayang banget, padahal kalau bareng-bareng bisa lebih bagus pas terbangnya. Tapi setidaknya penerbangan lampion ini bikin de javu sama Waisak. Melepas lampion udah dua kali, melepas masa lajang kapan? #eeeeaaaa
- Pasar Triwindu
Ketika berjalan dari arah Gatot Subroto, menyebrang Slamet Riyadi dan melewati Jalan Diponegoro, kita akan menemukan sebuah pasar bernama Pasar Triwindu. Bukan sembarang pasar, Pasar Triwindu ini menjual barang-barang antik.

Berbagai macam barang antik dijual di pasar yang mempunyai 2 lantai tersebut. Pasarnya pun cukup bersih dengan tempat parkir mobil yang memadai pula. Di Pasar Triwindu kita bisa menemukan kamera kuno, hiasan-hiasan kuno, bahkan buku lawas. Saya pun membeli mug dan cangkir dari seng yang biasa digunakan sebagai tempat minum di zaman dulu. Tidak hanya mug dan cangkir saja, di Pasar Triwindu ini juga dijual berbagai peralatan makan tradisional yang lain. Bosen dengan wisata belanja yang itu-itu aja? Pasar barang antik ini bisa jadi tempat memanjakan mata dan pikiran juga lho.
- Batik Laweyan
Siapa yang tidak kenal dengan Kampung Batik Laweyan? Kenal semua kan? Baiklah saya skip, karena saya sendiri tidak dapat batik yang keren versi saya di sini 😦
- Kantor Kelurahan Unik
Di perjalanan saya menjelajahi Solo (ini jalan beneran), saya menemukan beberapa kantor kelurahan yang cukup unik bangunannya. Kantor kelurahan biasanya selalu ada pendoponya, begitu juga dengan kantor kelurahan di Solo ini. Tetapi bentuk pendoponya terkesan unik dan lebih enak dipandang. Ukuran kantor kelurahan tidak terlalu besar memang, tetapi bentuknya malah terkesan lebih rapi.

Kantor kelurahan yang saya temui di kota Solo, berdindingkan kayu ukiran dengan jendela kaca. Keren sih liatnya. Mungkin dulu karena mantan Walikotanya pengusaha mebel ya, jadinya pakai kayu ukiran. Tapi dengan bentuk kelurahan yang berbeda ini rasanya merubah image kelurahan yang biasanya agak lama, jadi terkesan lebih dinamis.
- Tahu Kupat
Surabaya punya tahu tek, Lamongan punya tahu campur, Magetan ada tepo tahu, di Ponorogo ada sego tahu, Semarang punya tahu gimbal, nah Solo punya tahu kupat. Secara isi, tahu kupat Solo ini tidak beda jauh dengan tepo tahu Magetan atau sego tahu di Ponorogo. Ada kupat, mie kuning, tahu goreng yang diiris, ote-ote yang diiris dan juga telur goreng. Semua bahan ini kemudian disiram dengan bumbu sambal kecap dan ditaburi kacang goreng, seledri dan bawang goreng. Nyummmyyy. Bisa request kupat sedikit, atau ga pake telur dan juga bisa milih pedas atau enggak. Harganya juga cukup murah, sekitar Rp 9,000 kalau ga salah.

Salah satu tahu kupat yang bisa dicicipi ada di Jalan Gajah Mada, tepatnya di dekat Masjid Solihin, tidak jauh dari Stasiun Balapan.
- Soto Triwindu
Soto Triwindu ini bukan terletak di dalam Pasar Triwindu, lebih tepatnya berada di belakang Pasar Triwindu di Jl. Teuku Umar. Lokasi Soto Triwindu ini berada sejalan dengan lokasi Nasi Liwet Bu Wongso Lemu yang biasanya buka di malam hari.
Soto daging atau soto ayam? Pertama saya mendengar Soto Triwindu ini saya kira adalah soto ayam. Tapi ternyata setelah pesanan datang, Soto Triwindu ini adalah Soto Daging. Eitssss, jangan kira mitip dengan soto daging Madura ya, soto daging di Solo ini terkesan lebih seger, terlihat seperti sop dengan kuah bening. Beberapa menu minuman tradisional juga dijual di Soto Triwindu ini seperti es gula asem dan es beras kencur.

Desain meja di dalam tempat makan ini cukup unik. Di atas meja terdapat seperti etalase kaca yang digunakan untuk tempat lauk. Tapi sayang waktu itu etalase tersebut cenderung kosong, cuma isi sunduk telur puyuh. Harga Soto Triwindu ini juga cukup enteng di kantong orang Surabaya seperti saya, Rp 12,000 sudah termasuk nasi.


- Tengkleng
Ini makanan yang cukup “berat”. Tengkleng, mirip gule yang isinya tetelan dan balungan daging kambing. Siap-siap kolesterol deh pokoknya. Kalau makan tengkleng pokoknya siap-siap ngrikiti deh. Tapi ga pa-palah kan juga sekali-kali aja makan kambingnya.

Tengkleng yang terkenal katanya ada di Pasar Klewer. Tapi karena sekalian lewat, kami mencoba Tengkleng Mbak Diah yang berada tidak jauh dari Stasiun Purwosari. Kalau datang ke sana disarankan jangan terlalu siang apalagi sore. Jam 3 saja menu yang tersisa hanya tengkleng, padahal kami sebenarnya juga pingin makan sate buntel.
- Cafe Tiga Tjeret dan Playground
Cafe Tiga Tjeret ini cukup banyak direkomendasikan teman-teman saya sebagai salah satu tempat nongkrong di Solo. Lokasi Tiga Tjeret ini juga cukup dekat dari kawasan Puro Mangkunegaran, jalan aja nyampe. Konsep di Tiga Tjeret ini adalah makanan angkringan yang dimakan di cafe. Menunya mulai dari sego kucing dengan berbagai pilihan lauk dengan nama macem-macem pula sampai dengan lauk cemilan sundukan dan sebagainya.
Harga nasi kucingnya sebenarnya cukup murah, sekitar Rp 2,500 – Rp 3,000. Harga lauk yang disediakan pun cukup bervariasi, mulai dari yang tradisional sampai yang internasional seperti sosis. Karena saking banyaknya pilihan, hati-hati kalap, karena modelnya prasmanan, tinggal pilih. Nanti shock pas uda sampai kasir, abisnya kok banyak. Tambah shock lagi pas makanannya udah sampai meja, kok banyak ternyata yang dipesan, ga abis deh jadinya. Oh iya, di Tiga Tjeret ini bisa milih makanannya mau dipanasin lagi atau enggak. Manasinnya biasanya dibakar sambil dioles bumbu kecap. Ngileerrr.
Minuman yang disediakan pun cukup bervariasi, sama dengan makanan, mulai dari yang tradisional sampai internasional. Mumpung di Solo dan di Tiga Tjeret, saya coba pesan Wedang Tiga Tjeret. Hawa dingin selesai hujan memang enaknya minum yang anget-anget. Nah Wedang Tiga Tjeret ini merupakan kombinasi wedang jahe, gula merah, kencur dan jeruk nipis. Hmmmmm…

Secara dekorasi, yang menarik dari Cafe Tiga Tjeret ini adalah lampunya. Tidak perlu menggunakan lampu ala disko untuk menunjukkan suasana remang-remang, cover lampu di Tiga Tjeret ini menggunakan gelas plastik yang disusun sedemikian rupa sehingga berbentuk bulat. Kreatif! Oh iya, di Cafe Tiga Tjeret ini ada akustikannya juga lho.

Selain Tiga Tjeret, ada juga tempat nongkrong yang namanya Playground. Nah Playground ini sebenarnya juga sama manajemennya dengan Tiga Tjeret. Dari menu makanan dan konsep tempat pun mirip. Namun secara tempat, Playground lebih luas dan mejanya lebih banyak. Lokasinya pun berada di kawasan perumahan, tepatnya di Jalan Kenanga Solo, sehingga parkirnya terkesan lebih luas dibandingkan Tiga Tjeret yang berada di kawasan tengah kota.
- Es Masuk
Mendengar rekomendasi tempat makan “Es Masuk”, langsung kepikirannya itu nama es-nya. Tapi ternyata salah lagi Nes, Es Masuk itu nama tempat makan yang menyediakan menu khas Solo. Lokasinya berada di Gajahan, lebih tepatnya di Jl. Reksoniten.

Menu yang ditawarkan di Es Masuk ini antara lain Timlo, Garang Asem dan masakan tradisional lain. Saya waktu itu mencoba Timlo Komplit karena penasaran isinya apa. Ternyata mirip soto khas Solo, yang bening dan seger. Isinya lengkap mulai daging ayam, jeroan, kentang goreng tipis (ini yang khas dari soto dari Solo dan sekitarnya), wortel, sosis, jamur, telur. Pokoknya seger. Ditambah minum es leci. Hmmm. Harga yang dibanderol juga tidak terlalu mahal, semangkok timlo komplit plus es leci cuma Rp 15,000.
- Es Puter
Ini bukan nama tempat makan sih. Jadi kebetulan selama berjalan di kawasan Ngarsopuro saya menemukan penjual es puter. Karena pingin, meskipun setelah hujan yang dingin, saya nekad membeli es puter ini.

Satu kata, enakkk. Kalau biasanya makan es krim yang kaya akan susu, makan es puter ini rasanya sungguh beda. Rasa tradisional penuh dengan santan. Apalagi ternyata di dalam es, kita akan menemukan serutan kelapa muda yang krius-krius. Sebagai tambahan, di es puter ini juga ditambahkan tape ketan. Nyummmyyy. Mc Flurry kalah deh, serius. Cuma Rp 5,000 aja.
- CityWalk Solo
Buat saya, jalan-jalan yang bener jalan-jalan itu ya kalau kita jalan. Di berbagai trip, saya seringkali memilih jalan dibandingkan naik becak atau taksi. Selain masalah budget, dengan jalan-jalan saya bisa lebih menikmati kota, lingkungan bahkan kehidupan sosial masyarakat di kota tersebut. Selain itu, biasanya kan kalau ngetrip pasti banyak kuliner, nah kalau jalan kan lumayan bisa membakar kalori.
Begitu juga di Solo kemarin, saya sempat berjalan kaki dari Hotel Amarelo di Jl Gatot Subroto menuju Stasiun Balapan menjemput teman saya yang baru datang. Jarak dari hotel ke Stasiun Balapan tersebut kurang lebih 2 km. Dengan jalan-jalan itu pula saya menemukan berbagai tempat wisata seperti Pasar Triwindu, Puro Mangkunegaran dan Masjid Wustho. Sepanjang Jl Diponegoro/Ngarsopuro sampai Jl Kartini, saya masih bisa menikmati trotoar. Bahkan di sepanjang jalan Kartini sebelum Masjid, saya menemukan beberapa kursi permanen yang dipasang di trotoar setiap 100 m. Keren! Namun memang beberapa ruas jalan yang jarang digunakan oleh wisatawan seperti kawasan Pasar Legi tidak ada trotoar yang layak digunakan untuk pejalan kaki karena harus berbagi dengan parkir kendaraan.

Kota Solo menyediakan City Walk yang cukup ramah pejalan kaki di sepanjang Jl Slamet Riyadi. Di ruas jalan ini pula biasanya diadakan Car Free Day setiap hari minggu. Meskipun tidak CFD kita tetap bisa menggunakan City Walk ini untuk jalan-jalan. Kalau CFD biasanya City Walk ini banyak yang jualan. City Walk ini cukup lebar, kurang lebih 2 meter. Ukuran nyaman untuk pejalan kaki. Di sepanjang City Walk ini juga dipasang beberapa kursi permanen yang bisa digunakan sebagai tempat istirahat ketika lelah berjalan kaki.

Sambil menunggu jadwal kereta, saya pun menikmati City Walk Slamet Riyadi ini sembari berjalan menuju Stasiun Purwosari. Ya kira-kira 3 km lah. Sejauh itu tapi ga kerasa sih, karena banyak hal yang bisa saya nikmati. Saya melewati Taman Sriwedari yang terkenal itu dan sempat foto selfie. Saya juga melewati depan Stadion Sriwedari dan rumah dinas Walikota Solo yang dikenal dengan Loji Gandrung. Saya juga sempat melihat kereta wisata Solo yang melintas di sepanjang jalan Slamet Riyadi ini. Oh iya, saya juga sempat melewati depan Museum Radya Pustaka
Kereta Wisata Solo


Yaps, begitulah Solo. Kota budaya yang banyak kulinernya. Masih banyak sebenarnya kuliner yang belum saya coba di kota ini. Semoga suatu saat nanti bisa kembali ke sana, kan deket rumah juga J
Leave a Reply