The Circle : Membayangkan Masa Depan dengan Keterbukaan di Media Sosial

Hayoo? Ini review buku atau film?

Lebih tepatnya kedua-duanya.

Berbeda dengan biasanya, baca buku dulu baru nonton filmnya, untuk kasus The Circle ini aku nonton film dulu. Karena merasa akhir ceritanya menggantung dan kurang jelas, akhirnya abis nonton di XXI Ciputra World langsung menuju ke Gramedia. Bukunya sendiri ditulis oleh Dave Eggers.

Tulisan ini nanti mungkin tidak banyak me-review buku atau filmnya dari segi cerita, tokoh ataupun yang lainnya, tapi tentang beberapa insight dari film ini. Film ini cocok banget dengan kondisi sekarang di mana orang semakin tergila-gila dengan media sosial.

Sebelum lanjut, ini official poster dan trailer-nya.

The Circle 2.jpg
Poster Film The Circle

 

Buku dan film ini menceritakan tentang Mae Holland (Emma Watson), seorang pekerja di salah satu kantor layanan publik yang diterima di The Circle, sebuah perusahaan teknologi dunia. Sama seperti tugasnya di kantor sebelumnya, di sini Mae menjadi customer service yang menangani keluhan dan pertanyaan konsumen. Karena The Circle merupakan perusahaan teknologi, tentu saja teknik dan proses melayani konsumen lebih canggih dibandingkan kantor Mae sebelumnya.

The Circle.jpg
Buku The Circle

The Circle, sebuah perusahaan teknologi, yang menciptakan berbagai program dan aplikasi untuk mempermudah kehidupan manusia dalam berbagai aspek. The Circle dikenal dengan program TruYou, yang bisa disingkat Ty, sama dengan nama founder-nya. TruYou sebuah program yang mengintegrasikan berbagai akun termasuk akun pembayaran. Penggunaan TruYou ini dianalogikan penggunaan mobil. Untuk mencapai berbagai tujuan, kita tidak perlu mempunyai mobil yang banyak dan berbeda-beda, kita hanya perlu mempunyai 1 mobil saja.

Layaknya perusahaan teknologi yang ada di dunia nyata sekarang, The Circle memberikan berbagai fasilitas buat karyawannya. Mulai dari smartphone yang terhubung langsung dengan akun Circle, gelang kesehatan, asuransi kesehatan untuk karyawan dan keluarga, bahkan sampai berbagai pesta dan komunitas. The Circle ingin karyawannya punya life balance, bisa bekerja dan bersenang-senang. Bahkan The Circle pun membuat PartiRank, yang merupakan ranking dari masing-masing karyawan dalam berpartisipasi dalam kegiatan The Circle. Keren? Hmmm…

Terlalu fokus dengan PartiRanknya, Mae pun mulai kehilangan waktu untuk melakukan me time dengan berkayak di teluk serta quality time bersama orang tuanya. Kerasa ga sih, kadang kita terlalu ingin engage dengan orang lain, ingin terlihat bagus di mata orang lain, tapi kita kadang lupa sama orang tua?

Di buku ini juga terdapat beberapa quote-quote menarik tentang fenomena media sosial. Beberapa nih contohnya ya :

“Orang-orang saling bergunjing di belakang punggung yang lain. Inilah mayoritas semua media sosial, semua tinjauan dan komentar ini. Alat bantumu menaikkan gosip, kabar burung dan teori tanpa bukti menjadi komunikasi arus utama yang valid”

 

“Kau tidak lapar, kau tidak butuh makanan itu, tidak ada manfaatnya untukmu, tapi kau terus saja makan kalori kosong itu. Inilah yang sekarang kau usahakan. Sama saja. Kalian mendorong orang untuk terus menikmati ekuivalen pergaulan sosial digital dari makanan berkalori kosong semacam itu. Dan, kalian mengalibrasinya supaya sama adiktifnya”

 

“Sekarang kita semua jadi Tuhan. Tidak lama lagi setiap orang bisa melihat dan menghakimi semua orang lain. Kita akan melihat apa yang dilihat Tuhan. Kita akan mengartikulasikan penilaian-Nya. Kita akan melampiaskan angkara-Nya dan memberikan pengampunan-Nya”

 

Menohok kan?

The Circle pun mengeluarkan penemuan terakhir tentang transparansi kehidupan manusia, salah satunya dengan kamera SeeChange yang berukuran kecil dan dapat ditaruh di mana saja. The Circle mempunyai gagasan untuk memberikan akses transparan kepada masyarakat umum untuk melihat kegiatan para wakil rakyatnya. Mae pun menjadi brand ambassador dari alat ini dan menggunakan kamera setiap saat untuk diawasi para followersnya, yang berjumlah jutaan. Kamera ini akan merekam semua kegiatan Mae, kecuali kegiatan di kamar mandi, yang hanya dibatasi 3 menit saja.

Menurut kalian asik?

Hmmmm, tidak semua transparansi itu asik. Karena kita pasti butuh privasi. Begitu juga Mae. Dia tidak bisa ngobrol banyak dan curhat dengan Annie, sahabatnya. Mae juga harus berpura-pura tersenyum dan selalu ceria di depan kameranya. Mae pun harus kehilangan salah satu teman baiknya karena uji coba penggunaan program pencarian orang versi terbaru.

Setelah semua yang dilaluinya, apakah Mae akan tetap menggunakan kamera tersebut? Langsung tonton aja di filmnya atau baca di bukunya ya. Kalau di film sih kerasanya masih kurang jelas, tapi pas di buku lebih jelasnya ending-nya yang mana.

Secara umum, pasti banyak perbedaan antara buku dan film adaptasinya, itu wajar. Beberapa tokoh di buku dihilangkan di film, penggambaran Mercer (mantan Mae) yang berbeda jauh dan juga adegan-adegan seksual yang dihilangkan di filmnya. Kalau lihat trailer sekilas, aku pikir akan ada titik terang tentang konspirasi efek penggunaan data pribadi di media social oleh pihak tertentu. Tapi ternyata, masalah itu sama sekali tidak dibahas di film maupun buku. Padahal penasaran sih aslinya.

Tapi, buku dan film ini cukup membuka mata, tentang kurang lebihnya menggunakan media sosial. Semua sesuatu pada dasarnya akan bermanfaat jika kita menggunakan sesuai kadarnya, termasuk media sosial.  Sebagai manusia, aku sendiri masih ingin punya privasi dan me time tanpa diganggu oleh siapapun.

Jadi, bijaklah bermedia sosial ya teman-teman. Kamu sendiri yang tahu mana yang menjadi privasi buatmu 🙂

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Blog at WordPress.com.

%d bloggers like this: