“Loh emang ada hubungannya meja makan sama bumi? Maksudnya kalau kita pakai kayu hasil penebangan liar gitu buat bikin meja makan?”
Buku karangan M. Faizi ini membuka pikiran kita tentang betapa jahatnya kita kepada Ibu Bumi dengan perilaku kita di meja makan. Perilaku kita yang seringkali gelap mata dengan makanan yang turut serta berkontribusi dalam menambah jumlah sampah makanan. Tidak hanya sekadar menguraikan masalah sampah dari aspek ekologi dan lingkungan, dengan latar belakang penulis yang merupakan lulusan pesantren, kita juga diajak merenungkan sampah makanan dari aspek agama, terutama agama Islam.

Sisa Makanan
The Economist Intelligence Unit telah mengeluarkan infografis tentang food waste di dunia. Hasilnya, Indonesia berada di peringkat ke-2 negara dengan sampah makanan per orang terbesar di dunia, setelah Saudi Arabia. Dalam setahun, satu orang di Indonesia bisa membuang sampah makanan sebanyak 300 kg. Kebayang kan 300 kg seberapa banyaknya. Sebuah hal yang menarik buat diselidiki lebih lanjut, 3 dari 4 negara penghasil sampah makanan terbesar di dunia, adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim. Padahal di dalam Islam, kita juga diajarkan untuk tidak mubadzir. Sebagai orang Islam, sepertinya saya perlu introspeksi diri nih, bagian mana dari kehidupan saya yang tidak sesuai dengan ajaran tersebut

Kenapa sampah makanan sepenting itu sih? Di sisi lain banyak orang yang istilahnya nyampah, menghamburkan sampah makanan, di sisi lainnya masih banyak penduduk dunia yang kelaparan. Mungkin bahkan orang itu ada di sekitar kita.
Sampah Plastik dan Tisu
Selain sampah sisa makanan, sampah yang juga mengikuti kita selama berada di meja makan adalah sampah plastik dan sampah tisu. Kalau makan, apalagi kalau makan di warung makan atau restoran, sebagian dari kita akan memesan air mineral, yang tentu saja biasanya disajikan dalam kemasan botol atau gelas plastik.
Makan rasanya kurang rame kalau nggak ada kerupuk nih. Kemudian kita ambil sebungkus kerupuk yang juga dibungkus dengan plastik.
Makan udah selesai, tangan kotor, bibir berminyak. Tisu mana tisu. Ambil selembar kurang, dua lembar dan seterusnya. Sampah lagi.
Mau bungkus makanan buat keluarga di rumah, bungkus makanannya pakai kertas minyak atau styrofoam, terus sekalian dibawanya pakai plastik kresek.
Sudah berapa sampah yang kita hasilkan dari serangkaian proses makan di luar tadi? Bayangkan kalau minimal 100 juta penduduk Indonesia melakukan proses tersebut dalam sehari, tumpukan sampah setinggi gunung tidak akan bisa dihindari.
Sampah dan Pergeseran Gaya Hidup
Sampah dari proses makan, secara umum memang bisa kita kelompokkan berdasarkan dua jenis makanan di atas, sampah sisa makanan serta sampah plastik dan tisu yang menyertai kita selama proses konsumsi makanan. Tapi, sadar gak sih, kalau sampah-sampah itu sebenarnya tidak serta merta kita timbulkan karena kebutuhan kita akan makanan.
Gaya hidup modern membuat kita mengalami banyak perubahan, termasuk salah satunya dalam konsumsi makanan, dan sampah yang ditimbulkannya. Coba kita preteli satu per satu dari sampah-sampah yang kita sempat bahas sebelumnya.
Sebelum tahun 2000-an, kita terbiasa untuk minum air putih dari teko atau kendi yang ada di rumah. Belum banyak toko yang menjual air mineral atau minuman ringan lain dalam kemasan botol plastik. Pada awalnya, minuman ringan seperti soda ataupun teh disajikan dalam kemasan botok beling, yang harus kita kembalikan ke tokonya setelah minum. Tidak praktis sepertinya, tapi sampahnya juga gak banyak kan. Lama kelamaan, banyak toko maupun swalayan yang menyediakan air minum maupun minuman ringan dalam kemasan botol plastik ataupun kotak.
Di desa, hidangan di resepsi pernikahan biasa disajikan bukan dalam bentuk prasmanan, tamu akan disuguhi makanan dan minuman dalam porsi yang sudah ditentukan. Kalau minuman, biasanya dalam gelas kaca, dalam bentuk teh panas dan sejenisnya. Kemudian air mineral dalam kemasan gelas mulai bermunculan, menggeser teh panas. Pemilik rumah yang bisa menyajikan air mineral kemasan dianggap lebih mampu, tentu saja karena biaya yang dikeluarkan lebih banyak. Tapi sayangnya sampah yang dihasilkan pun lebih banyak. Apalagi banyak orang yang minum air mineral gelas dengan cara mencoblos sedotan ke kemasan, meminumnya satu dua kali sedot, kemudian meninggalkannya begitu saja. Mubadzir.
Dulu, bungkus makanan berasal dari daun. Mulai dari daun pisang, daun jati maupun beberapa jenis daun lain. Penggunaan daun sebagai bungkus makanan ini ternyata berbeda-beda bentuk dan jenisnya di setiap daerah. Keragaman ini menjadi kearifan lokal kuliner Indonesia. Selain mengurangi sampah plastik dan kertas, sisa daun pembungkus ini tentu juga lebih mudah terurai dan bisa dijadikan kompos.
Untuk membersihkan sisa makanan di meja atau di wajah, kita dulu menggunakan serbet atau sapu tangan. Serbet kalau di meja makan, sapu tangan yang kita bawa-bawa sendiri untuk membersihkan wajah kita. Kalau tidak bawa, bisa mencari tempat cuci tangan. Kalau tidak ada, bisa tiba-tiba datang ke tempat cuci piring untuk numpang. Sekarang, semuanya bisa dilakukan dengan selembar dua lembar tisu, yang tanpa kita sadari juga sering kita tinggalkan begitu saja, menjadi sampah yang mengotori meja makan. Kalau bawa atau pakai tisu itu kesannya kita higienis dan bersih.
Bagaimana Mengelola Sampah dari Makanan Kita
Sesuai dengan prinsip pengelolaan sampah yang dikenal dengan 3R (Reduce, Reuse dan Recycle), pengelolaan sampah makanan pun juga seperti itu. Mulai dari yang paling awal dan paling signifikan pengaruhnya, reduce. Mengurangi sampah makanan bisa kita mulai dengan masak secukupnya, tidak perlu berlebihan. Usahakan tidak ada makanan di kulkas yang terbuang. Begitu juga ketika kita makan di luar. Jika diambilkan minta porsi secukupnya, bilang kepada penjual makanan yang tidak bisa kita makan. Jika memang ambil sendiri dalam jamuan prasmanan, ambil porsi secukupnya, jangan kalap. Reduce ini memerlukan kemampuan memahami dan mengenali kebiasaan diri kita sendiri, termasuk porsi makan yang bisa kita konsumsi.

Reuse, mengkonsumsi kembali makanan kita, alih-alih membiarkannya menjadi sampah. Kalau makan di luar, bisa dengan rajin membawa kotak makan dan membungkus sisa makanan yang tidak habis untuk kembali dimakan di rumah. Kalau orang Jawa, ada istilah “jangan blendrang”, untuk menyebut sayur yang dihangatkan kembali, semakin lama, semakin kering, semakin enak. Sisa makanan yang masih bisa dikonsumsi, bisa dibikin menu lain. Misalkan, masih ada sisa sambel bawang, ditambah bawang merah, diuleg, dibikin bumbu nasi goreng. Masih ada sisa ayam goreng, tinggal disuwir buat tambahan nasi goreng atau sop sayur. Intinya sih, sekreatif mungkin memasak kembali makanan yang bisa dikonsumsi lagi. Tapi kalau benar-benar udh gak bisa dikonsumsi lagi jangan dipaksa ya.
Baca Juga : Menjadikan #ZeroWaste Bukan Hanya Sekadar Tagar Kekinian
Recycle, nah kalau masih terpaksa membuang sampah sisa makanan, bisa tuh dibikin pupuk kompos, untuk nanti menyuburkan tanaman di masa pandemi.
Yuk, di masa pandemi ini bisa jadi titik balik kita untuk lebih bijak dalam mengkonsumsi makanan, sehingga mengurangi sampah yang ditimbulkan.
Leave a Reply